Thursday, February 14, 2013

Esai: SEDERHANA dan LUGAS (mengulas beberapa karya Armijn Pane)


     Pisang kukupas bukan karena lapar,
Tiba-tiba kutahu kau tiada makan
Dua baris tersebut merupakan kutipan puisi dari seorang sastrawan angkatan pujangga baru yaitu Armijn Pane.
Armijn Pane lahir di Muara Pongi (Tapanuli) pada tanggal 18 Agustus 1908, dan meninggal dunia pada 16 Februari 1970 di Jakarta. Arimijn sangat berikhtiar dalam ranah bahasa dan kesusastran sehingga ia berprofesi sebagai guru bahasa serta bekerja pada Balai Pustaka. Dengan kemampuan dan potensinya yang besar dalam dunia bahasa dan sastra tersebut beliau sering mendapatkan jabatan sebagai ketua. Beliau pernah memimpin majalah Kebudayaan Timur, menjadi anggota terkemuka dari Pergabungan Usaha Sandiwara Jawa, dan juga menjadi Ketua Muda Angkatan Baru.
Armijn Pane yang juga saudara dari Sanusi Pane ini ikut ambil bagian dalam kelompok Pujangga Baru. Karyanya yang mencuat di masanya adalah Lukisan Masa (sandiwara dalam Pujangga Baru 1937), Lenggang Kencana (sandiwara 1937), Jiwa berjiwa (sajak PB/PR 1941), De Pujangga Baru (pemandangan dalam De Fakkel, 1941), Belenggu (Roman PB/PR, 1940), Ratna Literatuur (B.P. 1940), Membangun Hari Kedua (terjemahan Ilya Ehrenburg: Tweede Scheppingsdag, Pembaruan 1956), Jinak-Jinak Merpati (kumpulan drama B.P. 1953), Kisah antara Manusia (kumpulan cerpen), Gamelan jiwa (kumpulan sajak 1960), Mencari Sendi Baru Tatabahasa Indonesia (B.P. 1950), Tiongkok zaman baru, Jalan Sejarah Dunia (1952), dan bermacam-macam pemandangan bahasa dan kebudayaan dalam surat kabar dan majalah.
Karwoto yang menjadi nama samaran Armijn bukanlah sastrawan yang suka dengan gebrakan dan tidak mudah ditebak. Ia membuat karangannya melalui apa yang telah terjadi di masyarakat pada jamannya. Mengeluarkan rasa, pengetahuan dan gejolak yang ada di dalam dirinya sehingga tidak terpaku pada satu sifat.
Hal tersebut terbukti pada puisi-puisinya yang dikumpulkan oleh S. Takdir Alisjahbana yang berjudul Setala Malam dan Hamba Buruh. Kedua puisi tersebut berbeda tema dan tujuannya. Dalam Setala Malam, Ia memakai citra penglihatan dengan menggunakan rima berpaut dan rima bersilang sebagai berikut,
SETALA MALAM
………
Pemandangan diarahkan ke kaki langit,
          Awan lain berleret putih,                                                    
Gunung Budeg terang mangkin,                             Rima Berpaut
          Rasa diri berubah turut.

Mata terarah gunung Kelut,
          Kaki badan menghitam telauan,                   Rima Bersilang
Lain rupa lain tadi,
          Rasa diri berubah turut.
(Panji Pustaka, Puisi Baru, 150)
Selain memiliki rima yang berpola, puisi ini memiliki tujuan yaitu mengutarakan keindahan alam yang tak akan ada habisnya. Karwoto memanfaatkan kedua rima tersebut dengan pas. Tidak melebih-lebihkan dengan gaya bahasa yang rumit. Dalam puisi ini lebih cenderung mengunakan gaya bahasa personfikasi.
Hamba Buruh. Lagi-lagi Karwoto memasukkan teknik rima ke dalam puisi ini. Lihatlah dalam kutipan puisi tersebut,
HAMBA BURUH
……………………..
Hati ingin sempurna dengan engkau,
          Sama derita sama gembira,                           Rima Bersilang
Kepala pusing menimbang-nimbang,
          Menghitung-hitung uang bagi kita.

Aku ingin hidup damai tua,
          Mikir anak isteri setia                                     Rima Patah
Kalbu pecah merasa susah,
          Hamba buruh apa dikata.
(Pujangga Baru, Puisi Baru, 151)
Seperti kutipan puisi yang sebelumnya, Karwoto menggunakan rima untuk menarik pembaca. Ini juga bisa menjadi salah satu ciri  karya sastra angakatan Pujangga Baru. Diksi yang sederhana menjadi corak bagi sang penulis puisi ini. Tema dan makna dalam puisi ini juga jelas dilihat dari judul dan jalannya kata yang dirangkai dalam puisi ini yaitu nasib buruh di era Pujangga Baru itu. Dan bisa dilihat lagi bahwa tema yang diusung Karwoto tidak tetap.
Sederhana dan lugas. Itulah yang terpampang jelas dalam puisi Karwoto. Namun, ada juga puisinya yang menggelitik pembacanya. Mata Berlian. Di dalam puisi ini terlihat bahwa Karwoto juga memiliki rasa yang lembut dan manusiawi. Puisi ini mengisahkan tentang wanita PSK (Pekerja Seks Komersial). Karwoto menyombolkan wanita PSK dengan berlian. Padahal kita tahu bahwa wanita PSK tak layak disebut berharga di jaman itu. Namun, Karwoto berani memuji dan mengasihaninya. Hal itu merupakan wujud kemanusiaan seorang sastrawan di Pujangga Baru.
Membahas tentang unsur intrinsik dalam karya Karwoto ini sebenarnya bisa dikatakan susah-susah gampang. Karena di waktu pembaca membaca karyanya terutama puisi dengan satu kali maka tak bisa mendapatkan maknanya dengan cepat. Pembaca juga tidak langsung berdecak kagum dengan membaca puisinya ini. Bukan tak berbobot atau tak layak tetapi perlu pemikiran yang dalam. Dalam yang dimaksud di sini bukan dengan teori-teori atau bukan hanya feel confidence melainkan rasa yang ingin dimunculkan Karwoto dalam karyanya teutama puisi.
Kesimpulan dari karya Karwoto ini mungkin terletak pada para pembaca-pembaca karyanya. Karena jika kita tak menikmati karya-karyanya kita tidak bisa mengenal sastrawan yang pernah ada di negiri kita ini. Jadi, silahkan apresiasikan rasa sastra anda dalam karya sang Pujangga Baru ini.




No comments:

Post a Comment