Pisang kukupas bukan karena lapar,
Tiba-tiba kutahu
kau tiada makan
Dua baris tersebut merupakan kutipan puisi dari
seorang sastrawan angkatan pujangga baru yaitu Armijn Pane.
Armijn Pane lahir di Muara Pongi
(Tapanuli) pada tanggal 18 Agustus 1908, dan meninggal dunia pada 16 Februari
1970 di Jakarta. Arimijn sangat berikhtiar dalam ranah bahasa dan kesusastran
sehingga ia berprofesi sebagai guru bahasa serta bekerja pada Balai Pustaka.
Dengan kemampuan dan potensinya yang besar dalam dunia bahasa dan sastra
tersebut beliau sering mendapatkan jabatan sebagai ketua. Beliau pernah
memimpin majalah Kebudayaan Timur,
menjadi anggota terkemuka dari Pergabungan Usaha Sandiwara Jawa, dan juga
menjadi Ketua Muda Angkatan Baru.
Armijn Pane yang juga saudara dari
Sanusi Pane ini ikut ambil bagian dalam kelompok Pujangga Baru. Karyanya yang
mencuat di masanya adalah Lukisan Masa (sandiwara
dalam Pujangga Baru 1937), Lenggang
Kencana (sandiwara 1937), Jiwa berjiwa
(sajak PB/PR 1941), De Pujangga Baru
(pemandangan dalam De Fakkel, 1941),
Belenggu (Roman PB/PR, 1940), Ratna
Literatuur (B.P. 1940), Membangun
Hari Kedua (terjemahan Ilya Ehrenburg:
Tweede Scheppingsdag, Pembaruan 1956),
Jinak-Jinak Merpati (kumpulan drama B.P. 1953), Kisah antara Manusia (kumpulan cerpen), Gamelan jiwa (kumpulan sajak 1960), Mencari Sendi Baru Tatabahasa Indonesia (B.P. 1950), Tiongkok zaman baru, Jalan Sejarah Dunia (1952),
dan bermacam-macam pemandangan bahasa dan kebudayaan dalam surat kabar dan
majalah.
Karwoto yang menjadi nama samaran Armijn
bukanlah sastrawan yang suka dengan gebrakan dan tidak mudah ditebak. Ia
membuat karangannya melalui apa yang telah terjadi di masyarakat pada jamannya.
Mengeluarkan rasa, pengetahuan dan gejolak yang ada di dalam dirinya sehingga
tidak terpaku pada satu sifat.
Hal tersebut terbukti pada
puisi-puisinya yang dikumpulkan oleh S. Takdir Alisjahbana yang berjudul Setala Malam dan Hamba Buruh. Kedua puisi tersebut berbeda tema dan tujuannya. Dalam
Setala Malam, Ia memakai citra
penglihatan dengan menggunakan rima berpaut dan rima bersilang sebagai berikut,
SETALA MALAM
………
Pemandangan diarahkan ke kaki langit,
Awan
lain berleret putih,
Gunung Budeg
terang mangkin, Rima Berpaut
Rasa
diri berubah turut.
Mata terarah gunung Kelut,
Kaki badan menghitam telauan, Rima Bersilang
Lain rupa lain tadi,
Rasa
diri berubah turut.
(Panji Pustaka, Puisi Baru, 150)
Selain memiliki rima yang berpola, puisi
ini memiliki tujuan yaitu mengutarakan keindahan alam yang tak akan ada
habisnya. Karwoto memanfaatkan kedua rima tersebut dengan pas. Tidak
melebih-lebihkan dengan gaya bahasa yang rumit. Dalam puisi ini lebih cenderung
mengunakan gaya bahasa personfikasi.
Hamba
Buruh. Lagi-lagi Karwoto
memasukkan teknik rima ke dalam puisi ini. Lihatlah dalam kutipan puisi
tersebut,
HAMBA BURUH
……………………..
Hati ingin sempurna dengan engkau,
Sama derita sama gembira, Rima Bersilang
Kepala pusing menimbang-nimbang,
Menghitung-hitung
uang bagi kita.
Aku ingin hidup damai tua,
Mikir anak isteri setia Rima Patah
Kalbu pecah merasa susah,
Hamba
buruh apa dikata.
(Pujangga Baru, Puisi Baru, 151)
Seperti kutipan puisi yang sebelumnya,
Karwoto menggunakan rima untuk menarik pembaca. Ini juga bisa menjadi salah
satu ciri karya sastra angakatan
Pujangga Baru. Diksi yang sederhana menjadi corak bagi sang penulis puisi ini.
Tema dan makna dalam puisi ini juga jelas dilihat dari judul dan jalannya kata
yang dirangkai dalam puisi ini yaitu nasib buruh di era Pujangga Baru itu. Dan
bisa dilihat lagi bahwa tema yang diusung Karwoto tidak tetap.
Sederhana dan lugas. Itulah yang
terpampang jelas dalam puisi Karwoto. Namun, ada juga puisinya yang menggelitik
pembacanya. Mata Berlian. Di dalam
puisi ini terlihat bahwa Karwoto juga memiliki rasa yang lembut dan manusiawi.
Puisi ini mengisahkan tentang wanita PSK (Pekerja Seks Komersial). Karwoto
menyombolkan wanita PSK dengan berlian. Padahal kita tahu bahwa wanita PSK tak
layak disebut berharga di jaman itu. Namun, Karwoto berani memuji dan
mengasihaninya. Hal itu merupakan wujud kemanusiaan seorang sastrawan di
Pujangga Baru.
Membahas tentang unsur intrinsik dalam
karya Karwoto ini sebenarnya bisa dikatakan susah-susah
gampang. Karena di waktu pembaca membaca karyanya terutama puisi dengan
satu kali maka tak bisa mendapatkan maknanya dengan cepat. Pembaca juga tidak
langsung berdecak kagum dengan membaca puisinya ini. Bukan tak berbobot atau
tak layak tetapi perlu pemikiran yang dalam. Dalam yang dimaksud di sini bukan
dengan teori-teori atau bukan hanya feel
confidence melainkan rasa yang ingin dimunculkan Karwoto dalam karyanya
teutama puisi.
Kesimpulan dari karya Karwoto ini
mungkin terletak pada para pembaca-pembaca karyanya. Karena jika kita tak
menikmati karya-karyanya kita tidak bisa mengenal sastrawan yang pernah ada di
negiri kita ini. Jadi, silahkan apresiasikan rasa sastra anda dalam karya sang
Pujangga Baru ini.
No comments:
Post a Comment