Monday, March 25, 2013

Opiniku: COPY-PASTE

Buku adalah jendela dunia. Pepatah itu yang sering hadir dan jelas tidak asing lagi bagi telinga kita sebagai masyarakat Indonesia. Namun, buku mulai kehilangan fungsinya lagi di mata para pemuda Indonesia.
Seiring dengan perkembangan teknologi, kehidupan yang global semakin memudahkan transfer informasi dari sumber mana pun. Sumber online menjadi lebih populer karena mampu memberikan hasil secara langsung segala bentuk informasi yang dibutuhkan pengakses internet. Internet tidak hanya menjelma sebagai jendela, tetapi sudah menjadi gerbang bagi manusia untuk membaca dunia. Dikenallah dunia maya atau cyber space melalui berbagai jejaring sosial seperti yahoo messenger, friendster, blogspot, wordpress, twitter, hingga facebook. Tanpa disadari, minat baca konvensional masyarakat semakin berkurang dan eksistensi buku di perpustakaan mengalami degradasi bagi para pembacanya.
Seperti yang dikutip dari harian Kompas, 26 Maret 2011, Buku, sastra, dipercaya sebagai simbol tingkat peradaban bangsa. Namun, nasib Pusat Dokumentasi Sastra HB Jasin di kompleks Taman Ismail Marzuki sungguh mengenaskan.” Pusat-pusat dokumentasi yang dibangun oleh tokoh-tokoh penting di negeri ini ternyata bernasib sami mawon. Kenyataan ini membuat gemas sejumlah pecinta sastra yang menelurkan gerakan penggalangan simpati, termasuk melalui media sosial. Kenyataan itu juga membuat kita bertanya, masih adakah pesona keasyikan membaca di perpustakaan bagi anak-anak sekolah?
Pertanyaan dari kutipan berita tersebut menyiratkan bahwa minat baca konvensional dengan pergi ke perpustakaan sudah tidak lagi favorit bagi para pemuda Indonesia. Mereka lebih menyukai istilahnya copy-paste dibanding dengan membaca dan mencari di dalam buku-buku yang tebalnya hingga ratusan halaman. Kita lihat saja dalam hal pebuatan karya tulis ataupun skripsi bagi calon sarjana. Mereka dapat dengan mudahnya mendapatkan artikel yang menunjang karya mereka dengan cara mencari artikel yang berhubungan di google dan copy-paste. Cara tersebut sangatlah mudah dan praktis tanpa harus membuang-buang waktu mencarinya di perpustakaan dan membacanya satu persatu. Itulah salah satu alasan mengapa minat baca di Indonesia khusunya para pemudanya.
Ada banyak metode yang dapat dilakukan untuk menghidupkan kembali budaya membaca buku dan sastra. Saat ini, konsep free wifi zone dan mini cafe yang diterapkan perpustakaan di sekolah-sekolah sudah mulai populer. Selain memang atas dasar kebutuhan siswa, dekorasi ruang baca yang nyaman dilengkapi dengan free wifi zone dan mini cafe merupakan pesona tersendiri bagi perpustakaan, seperti kata pepatah, ”Ada gula, ada semut.”
Dalam berperilaku sehari-hari, Muk Kuang dalam bukunya Think and Act like a Winner berkata, ”First we form habits, then they form us. Conquer your bad habits, or they will eventually conquer you.” Peran penting sekolah tidak hanya pada pendidikan intelektual tapi juga karakter. Sekolah yang dalam hal ini memiliki tanggung jawab penuh dalam pengembangan kapasitas siswa, harus mampu mengetahui segala yang dibutuhkan peserta didik. Tidak hanya sekedar memfasilitasi, tetapi juga harus memperhatikan kondisi kekinian yang menjadi kebiasaan subyek yang menggunakannya agar dapat mempertahankan efektivitas dan eksistensi fasilitas yang ada.
Sekolah juga memberikan pelatihan dan bimbingan yang intensif kepada para siswa tentang bagaimana cara membangkitkan budaya membaca yang menyenangkan untuk karakter mereka yang masih dibilang “ababil”. Mereka juga ingin mendapatkan hal yang berhubungan dengan mereka dengan cara yang menyenangkan bukan dengan suguhan yang membuat mereka tertidur oleh karena bacaan-bacaan itu berat sehingga nilai-nilai kehidupan yang seharusnya mereka dapatkan malah hilang oleh karena anggapan mereka mengenai buku itu sama dengan membosankan.
Sekali lagi, ”Buku, sastra, dipercaya sebagai simbol tingkat peradaban bangsa.” Oleh karena itu, diharapkan para pelajar mulai mencintai buku maupun sastra agar dapat memahami tingkat perkembangan peradaban bangsanya sendiri.

Refleksi:GELAR TAK SEINDAH KENYATAAN

lagi-lagi, sedikit permenungan tentang negeri kita Indonesia mengenai keadilan.

Keadilan. Sekarang dewasa ini mengalihkan kata tersebut dengan menambah “tidak” yaitu Ketidakadilan. Saya memiliki beberapa pertanyaan dengan kata dasar adil.  Apa yang mulai anda pikirkan dengan adanya kata adil? Apakah adil itu membagi menjadi dua? Apakah arti adil?
Ada yang berpikir bahwa adil itu mengenai hukum. Ada pula yang menyangkut-pautkan dengan pengadilan. Semua itu berhubungan dengan orang yang pandai dalam hal tersebut. Bila berhubungan dengan orang pandai pastilah ia belajar dengan sungguh apa yang harus ia lakukan dengan itu, tindakan yang juga harusnya baik pula untuk melakukan hal itu.
Tapi, semua itu tak sesuai dengan gelar yang disandang orang-orang pandai yang berhubungan dengan hukum atau pengadilan. Perilaku mereka justru kebalikan dari yang namanya pandai. Bahkan anugerah yang diberikan oleh Tuhan—hati nurani—sudah tak ada lagi bagi orang-orang tersebut. Sehingga munculah kata yang panjang namun negatif yaitu Ketidakadilan.
Beberapa kasus mengenai ketidakadilan mewarnai di dunia ini. Pelakunya bukan hanya orang yang tak beragama tetapi juga orang yang beragama. Juga dari antaranya mereka yang berpangkat tinggi yang dulunya menekuni bidang hukum yang berarti orang-orang yang pandai. Mereka rata-rata melakukan ketidakadilan kepada sesamanya dengan motif semau gue alias egois. Entah apa yang mereka pelajari mengenai hukum itu sendiri. Apakah para dosen atau guru mengajarkan teori mereka dengan disisipkan hal yang negatif? Saya rasa tidak.
Adil dalam pengertiannya bukan hanya membagi menjadi dua. Jika hanya ditelan mentah-mentah maka membagi menjadi dua saja itu malah bisa dikatakan tidak adil. Misalnya, ada kakak-adik yang berbeda usia dan mereka kelaparan. Ibu mereka hanya memiliki satu potong roti saja. Lalu ibu mereka membagi roti tersebut menjadi setegah-setengah. Padahal si kakak berusia 17 tahun dan adiknya berusia 5 tahun. Apakah ini di sebut adil? Mungkin bolehlah kita mengatakannya adil. Tapi coba kita ambil contoh kasus yang sedang marak di Indonesia tentang pencuri sandal dan nenek yang mencuri buah kakao. Mereka semua divonis hukuman yang sama dengan seorang koruptor yang menikmati uang tidak hanya beberaa ratus ribu bahkan miliaran. Ditambah lagi koruptor tersebut merupakan orang yang menjabat di pemerintahan dan juga dipenjara yang kualitasnya bak berada di hotel bintang lima. Apakah ini masih disebut adil?
   Dari kedua kasus diatas,kasus yang menimpa bocah pencuri sandal jepit dan nenek pencuri buah kakao jelas Tidak ada keadilan disitu. Karena hukuman yang adil bukan sekedar berdasarkan pasal sekian pasal sekian,tapi ada pertimbangan lain,ada hati nurani dan peri kemanusiaan. Jika melihat dari sisi pasal-pasal yang tertera dalam KUHP,sang bocah dan nenek minah memang bisa dikatakan bersalah. Karena dia mencuri. Namun dari sisi lain,apakah itu dapat disebut hukum berkeadilan? Hanya mencuri tiga buah kakao yang dilakukan seorang anak dibawah umur dan perempuan tua,harus dihukum,sedangkan para koruptor yang melahap uang Negara Negara/rakyat sampai milyaran rupiah bebas karena katanya ‘’tidak ada bukti’’?
Sebenarnya ada apa dengan dunia hukum kita? Siapa pun orangnya sama di hadapan hukum,Itu benar seratus persen. Namun kenyataannya di negara kita ini berbeda. Tidak semua orang sama di depan hukum.di Negara ini jika orang besar dituduh berbuat kesalahan apalagi yang dituduh mempunyai kekuasaan meskipun jelas ada bukti bersalah,tak langsung menerima hukuman. Proses pengadilannya bisa diulur-ulur atau ditunda-tunda,bahkan bisa sampai ‘’hilang’’ di tengah jalan. Berbeda dengan orang kecil yang dituduh berbuat kesalahan,’’cepat’’ dijatuhi hukuman,padahal banyak kejadian,kemudian terbukti dia tidak bersalah. Tapi dia sempat menjalani hukuman sampai bertahun-tahun. Tidak ada ganti rugi apapun dari pemerintah. Jadi hukum yang bagaimana yang harus ditegakkan di Negara ini? Yang Sering kali para pemimpin bangsa ini menyuarakannya di media-media. Apakah hanya hukum yang berdasar pasal demi pasal? Atau hukum yang berkeadilan,berhati nurani,dan bukan hukum yang buta?.
Kepastian hukum di negeri demokrasi ini sangat mahal. Selain itu, proses penegakan hukum pun acapkali melanggar hukum. Artinya, menghalalkan segala cara untuk memenjarakan kebenaran dan ketidakadilan atas dalih keamanan dan kenyamanan persekusi etnisitas kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Ironisnya, oknum penegak hukum yang terhormat dari kaum intelektual pun cenderung dicap setia dan sehati dalam upaya memarjinalisasi kepentingan atas hak kebebasan berpikir dan berpendapat serta berekspresi secara publik terhadap perjuangan membela kebenaran dan ketidakadilan.
Akibatnya, hukum yang semestinya menjadi panglima untuk membangun kesadaran berpikir kritis dalam paradigma baru berdemokrasi serta menjaga persatuan dan kesatuan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat semakin karut-marut dan bahkan selalu menjadi sorotan publik internasional. Dalam konteks ini, hukum pun menjelma menjadi dagelan pertunjukan budaya salah kaprah yang cacat moral serta tidak bernalar dan berlogika.
Lepas dari itu semua memang yang namanya gelar, kepandaian, pangkat, kekayaan, semua tak bisa disandingkan dengan kebijaksanaan yang membuat keadilan. Semua itu hanya sebagai keindahan dibelakang nama mereka. Berbicara mengenai hukum itu semua menjadi hal yang percuma dan sia-sia karena sebenarnya bukan para ahli yang patut disebut adil melainkan tindakan yang kita lakukan dan kita sadar bahwa apa yang harus kita lakukan bukan hanya sebatas aturan yang dibuat.



Thursday, February 14, 2013

Refleksi:SATU TUHAN (inspirasi dari film ''Tanda Tanya"

   (sebuah refleksi diri)

Perbedaan akar dari segala permasalahan? Banyak ajaran dari berbagai ilmu yang membahas tentang perbedaan suku, budaya, ras bahkan agama. Diantara pembahasan mengenai perbedaan, ada yang berpendapat bahwa perbedaan itu indah. Lihat saja symbol negara kita Indonesia yaitu Garuda yang memegang tulisan “Bhineka Tunggal Ika”. Betapa bermaknanya arti perbedaan. Tetapi, mengapa perbedaan masih tetap menjadi biang dari permasalahan? Untuk itu mari kita simak film “Tanda Tanya” berikut.
Hanung, sebagai sutradara film “ Tanda Tanya” ingin sekali membuka kenyataan yang terjadi dalam negeri kita tercinta, Indonesia. Kenyataan tersebut tak lain adalah perbedaan agama. Di dalam film ini diawali dengan adanya penusukan seorang pastor. Adegan tersebut sejenak mengingatkan kita tentang adanya teror-teror  yang terjadi di gereja-gereja. Kita tahu bahwa di negara kita Indonesia ini umat Kristiani merupakan kaum minoritas. Karena itu, ada kelompok tertentu yang sangat ingin memusnahkannya demi kepuasan kelompok mereka. Hal tersebut kita kenal dengan nama terorisme.
Teroris sebenarnya bukan berasal dari orang yang beragama mayoritas. Para teroris itu sendiri terkumpul dengan cara seperti hipnotis, pencucian otak, pemaksaan, dan lain sebagainya demi tujuan politik. Mereka menciptakan kekerasan agar dapat membasmi orang-orang yang dianggapnya berpengaruh sehingga mereka dapat mencapai tujuannya dengan mudah. Aksi-aksi mereka membuat masyarakat terkecoh. Masyarakat diadu-domba. Sehingga muncullah rasa fanatisme kelompok yang merupakan awal dari perbedaan yang mematikan.
Kembali lagi kita memasuki film “Tanda Tanya”. Perbedaan yang disebut indah itu mulai dimunculkan Hanung lewat tokoh Menuk yang merupakan muslimah bekerja  di restoran Cina. Ia tidak peduli terhadap orang yang mencibirnya. Intinnya Menuk bekerja dengan halal tanpa mengurangi gambaran seorang muslim dan menghargai perbedaannya.
Perdebatan mulai muncul dengan adanya seorang wanita muslim yang berpindah agama ke Katolik. Adegan ini mulai memunculkan kontoversi. Wanita ini mengubah keyakinannya oleh karena hatinya terluka akibat suaminya ingin menduakannya alias poligami. Di sini kita coba masuk ke dalam situasi wanita tesebut. Wanita tersebut mungkin tidak sepedapat dengan adanya praktik poligami. Baginya, poligami membuat wanita tersebut tersakiti. Mungkin dengan cara berpindah keyakinan itulah cara untuk menyembuhkan luka yang sakit itu. Pergulatan batin wanita tersebut jika dalam kehidupan yang nyata pasti perlu waktu yang tidak singkat. Orang akan berpendapat buruk jika befikir pendek, maka sebaliknya jika orang berpendapat baik jika dapat befikir luas mengenai wanita tersebut.
Manusia itu adalah makhluk sosial. Manusia tidak bisa hidup sendiri. Kalimat-kalimat tersebut sudah mendarah-daging sehingga tidak dielakkan lagi bahwa manusia itu harus saling mengisi dalam proses dikehidupan ini. Pernyataan iu semua sangat serasi pada adegan dalam film Hanung. Adegan tersebut ada pada bagian di mana sahabat wanita yang berpindah keyakinan membutuhkan pekerjaan. Sebelumnya ia sangat tidak setuju dengan wanita itu sebab perpidahannya. Namun, seiring berjalannya waktu dan kesadaran mulai menghatui semua pandangan buruknya mulai sirna karena ia menyadari bahwa langkah yang diambil oleh wanita itu—sahabatnya--- sangat besar dibandingkan dia yang sudah  sekian lama hanya bekerja sebagai figuran dan diusir dari kontrakanya. Hal ini menjadi nilai tambah bagi Hanung oleh karena dapat menciptakan konflik yang sedemikian indah layaknya kehidupan nyata. Di sini terkadang kita selalu mengukuhkan pandangan kita yang sebenarnya tidak tahu bermanfaat atau tidak, baik atau tidak, dan sebagainya. Kita hanya menyombongkan diri sebagai orang yang memiliki pendapat yang paling bagus. Padahal, di dalam kehidupan ini kita sebagai manusia selaknya mampu terbuka terhadap sesama kita yang berbeda dan tentu saja kita tidak akan hidup lama dengan mengurung diri dan pura-pura tidak membutuhkan sesama kita.
Alur dalam film ini sudah dapat dirasakan. Kita simak dalam adegan Hendra yang merupakan anak dari pemilik restoran Cina. Ia merupakan gambaran anak muda masa kini yang sibuk dengan dunianya sendiri. Ia berjiwa labil apalagi mantan kekasihnya yaitu Menuk bekerja di restorannya. Sebenarnya Hendra bersikap cuek dikarenakan ia patah hati tidak bias bersama lagi oleh karena Menuk berbeda keyakinan dan etnis. Di sini kita diguncangkan lagi mengenai kenyataan bahwa di Indonesia ini masih belum meyakini indahnya perbedaan.
Tiba saatnya klimaks. Ketika malam natal, suami Menuk—Soleh--- yang bekerja sebagai Banser terpaksa bertugas di gereja. Sebelum ia bertugas, Soleh sempat cekcok dengan Menuk oleh karena restoran Cina tempat Menuk bekerja tidak libur padahal bulan itu adalah bulan ramadhan. Soleh bersama semua orang  masjid berbondong-bondong memporak-porandakan restoran Cina itu. Alhasil ayah Hendra meninggal itu juga karena Hendra tidak mendengarkan sang ayah untuk meliburkan karyawan-karyawannya. Semua kejadian itu amat cepat sehingga Soleh ingin sekali meminta maaf kepada istrinya.
Acara malam natalpun berjalan dengan kusyuk. Soleh penasaran dengan apa yang ada dalam gereja. Ia masuk dan melihat drama kelahiran Yesus. Di sini terlihat jelas bahwa Hanung ingin menggambarkan bahwa sebenarnya Soleh yang kaku itu masih memilki hati.
Setelah melihat di dalam gereja ternyata tedapat kotak yang mencurigakan. Sudah dapat ditebak bahwa itu adalah bom. Soleh sontak teringat semua kesalahanya terhadap istrinya, cita-citanya dan keluarganya. Semua terangkum jadi satu dan bom tersebut dibawa keluar dan boom… Hidup Soleh berakhir.
Semua ini belum berakhir, Hanung memberikan tujuannya lewat kata-kata yang tersirat “Manusia berakhir dengan jalannya sendiri yaitu satu TUHAN”. Ini berarti segala perjalanan kehidupan manusia akan menentukannya sendiri dengan keuinikannya dan dalam prosesnya manusia bersama sesamanya menuju satu yaitu TUHAN. Berbeda itu indah. Apakah benar? Itu terserah anda.

Esai: SEDERHANA dan LUGAS (mengulas beberapa karya Armijn Pane)


     Pisang kukupas bukan karena lapar,
Tiba-tiba kutahu kau tiada makan
Dua baris tersebut merupakan kutipan puisi dari seorang sastrawan angkatan pujangga baru yaitu Armijn Pane.
Armijn Pane lahir di Muara Pongi (Tapanuli) pada tanggal 18 Agustus 1908, dan meninggal dunia pada 16 Februari 1970 di Jakarta. Arimijn sangat berikhtiar dalam ranah bahasa dan kesusastran sehingga ia berprofesi sebagai guru bahasa serta bekerja pada Balai Pustaka. Dengan kemampuan dan potensinya yang besar dalam dunia bahasa dan sastra tersebut beliau sering mendapatkan jabatan sebagai ketua. Beliau pernah memimpin majalah Kebudayaan Timur, menjadi anggota terkemuka dari Pergabungan Usaha Sandiwara Jawa, dan juga menjadi Ketua Muda Angkatan Baru.
Armijn Pane yang juga saudara dari Sanusi Pane ini ikut ambil bagian dalam kelompok Pujangga Baru. Karyanya yang mencuat di masanya adalah Lukisan Masa (sandiwara dalam Pujangga Baru 1937), Lenggang Kencana (sandiwara 1937), Jiwa berjiwa (sajak PB/PR 1941), De Pujangga Baru (pemandangan dalam De Fakkel, 1941), Belenggu (Roman PB/PR, 1940), Ratna Literatuur (B.P. 1940), Membangun Hari Kedua (terjemahan Ilya Ehrenburg: Tweede Scheppingsdag, Pembaruan 1956), Jinak-Jinak Merpati (kumpulan drama B.P. 1953), Kisah antara Manusia (kumpulan cerpen), Gamelan jiwa (kumpulan sajak 1960), Mencari Sendi Baru Tatabahasa Indonesia (B.P. 1950), Tiongkok zaman baru, Jalan Sejarah Dunia (1952), dan bermacam-macam pemandangan bahasa dan kebudayaan dalam surat kabar dan majalah.
Karwoto yang menjadi nama samaran Armijn bukanlah sastrawan yang suka dengan gebrakan dan tidak mudah ditebak. Ia membuat karangannya melalui apa yang telah terjadi di masyarakat pada jamannya. Mengeluarkan rasa, pengetahuan dan gejolak yang ada di dalam dirinya sehingga tidak terpaku pada satu sifat.
Hal tersebut terbukti pada puisi-puisinya yang dikumpulkan oleh S. Takdir Alisjahbana yang berjudul Setala Malam dan Hamba Buruh. Kedua puisi tersebut berbeda tema dan tujuannya. Dalam Setala Malam, Ia memakai citra penglihatan dengan menggunakan rima berpaut dan rima bersilang sebagai berikut,
SETALA MALAM
………
Pemandangan diarahkan ke kaki langit,
          Awan lain berleret putih,                                                    
Gunung Budeg terang mangkin,                             Rima Berpaut
          Rasa diri berubah turut.

Mata terarah gunung Kelut,
          Kaki badan menghitam telauan,                   Rima Bersilang
Lain rupa lain tadi,
          Rasa diri berubah turut.
(Panji Pustaka, Puisi Baru, 150)
Selain memiliki rima yang berpola, puisi ini memiliki tujuan yaitu mengutarakan keindahan alam yang tak akan ada habisnya. Karwoto memanfaatkan kedua rima tersebut dengan pas. Tidak melebih-lebihkan dengan gaya bahasa yang rumit. Dalam puisi ini lebih cenderung mengunakan gaya bahasa personfikasi.
Hamba Buruh. Lagi-lagi Karwoto memasukkan teknik rima ke dalam puisi ini. Lihatlah dalam kutipan puisi tersebut,
HAMBA BURUH
……………………..
Hati ingin sempurna dengan engkau,
          Sama derita sama gembira,                           Rima Bersilang
Kepala pusing menimbang-nimbang,
          Menghitung-hitung uang bagi kita.

Aku ingin hidup damai tua,
          Mikir anak isteri setia                                     Rima Patah
Kalbu pecah merasa susah,
          Hamba buruh apa dikata.
(Pujangga Baru, Puisi Baru, 151)
Seperti kutipan puisi yang sebelumnya, Karwoto menggunakan rima untuk menarik pembaca. Ini juga bisa menjadi salah satu ciri  karya sastra angakatan Pujangga Baru. Diksi yang sederhana menjadi corak bagi sang penulis puisi ini. Tema dan makna dalam puisi ini juga jelas dilihat dari judul dan jalannya kata yang dirangkai dalam puisi ini yaitu nasib buruh di era Pujangga Baru itu. Dan bisa dilihat lagi bahwa tema yang diusung Karwoto tidak tetap.
Sederhana dan lugas. Itulah yang terpampang jelas dalam puisi Karwoto. Namun, ada juga puisinya yang menggelitik pembacanya. Mata Berlian. Di dalam puisi ini terlihat bahwa Karwoto juga memiliki rasa yang lembut dan manusiawi. Puisi ini mengisahkan tentang wanita PSK (Pekerja Seks Komersial). Karwoto menyombolkan wanita PSK dengan berlian. Padahal kita tahu bahwa wanita PSK tak layak disebut berharga di jaman itu. Namun, Karwoto berani memuji dan mengasihaninya. Hal itu merupakan wujud kemanusiaan seorang sastrawan di Pujangga Baru.
Membahas tentang unsur intrinsik dalam karya Karwoto ini sebenarnya bisa dikatakan susah-susah gampang. Karena di waktu pembaca membaca karyanya terutama puisi dengan satu kali maka tak bisa mendapatkan maknanya dengan cepat. Pembaca juga tidak langsung berdecak kagum dengan membaca puisinya ini. Bukan tak berbobot atau tak layak tetapi perlu pemikiran yang dalam. Dalam yang dimaksud di sini bukan dengan teori-teori atau bukan hanya feel confidence melainkan rasa yang ingin dimunculkan Karwoto dalam karyanya teutama puisi.
Kesimpulan dari karya Karwoto ini mungkin terletak pada para pembaca-pembaca karyanya. Karena jika kita tak menikmati karya-karyanya kita tidak bisa mengenal sastrawan yang pernah ada di negiri kita ini. Jadi, silahkan apresiasikan rasa sastra anda dalam karya sang Pujangga Baru ini.




Cerpen: DYAH

(Inspirasi dari cerita rakyat dari Jawa Timur “Putri Nglirip”)

Beradu dengan letupan minyak goreng itu sudah kegiatan lazimku. Berciuman dengan dinginnya ubin itu sudah kewajiban. Berdendang dengan bulu kemocing itu sudah mendaging. Apa boleh buat? mau merengek pada ibu justru beliaulah yang membuatku seperti ini. Hanya sang pemberi nafas yang bisa kutumpahkan duka-duka yang lebih banyak dibanding suka ini. Aku meminta kepada-Nya supaya roh ibu dimaafkan dari segala hitamnya.
Dia memang Maha baik. Aku tumbuh besar dengan mandiri. Aku melancong untuk hidup sebagai manusia selayaknya. Dapat kerja di kantoran bermodal ijasah SMA menjadi hal yang mustahil bagi wanita bertubuh tambun, berkulit sawo matang yang jelas sering bersentuhan dengan panasnya surya apalagi berasal dari dusun yang kumpulnya dengan ayam. Sudah pasti pilihan lowongan kerjanya yaitu pegawai pabrik, atau paling yakin jadi pembantu.
Pembantu adalah aku. Tapi ini bukan jadi ceritaku tapi cerita majikanku.
***
“Bik, saya pamit pergi dengan ibu” Rama berkata sambil meneteng koper hitamnya. “Jaga Dyah dan mbak-mbaknya” tambahnya sembari membenahi dasi yang menjuntai tampak sekali beliau sedang terburu-buru. “Inggih Rama saya siap selalu” jawabku dengan nada semangat dimaksudkan supaya Rama dapat percaya dengan kerjaku nanti seusai beliau berangkat. “ Sepulang kami, rumah harus tanpa cela seperti ini” kata Kanjeng tegas namun dengan tatapan penuh percaya. “Inggih Kanjeng ” jawabku sambil memberi hormat dan anggukan yang menurutku itu menambah keyakinan sang majikan bahwa aku bertanggung jawab semuanya di rumah ini.
Pagi pukul 02.00 itu menjadi waktu penanda bahwa Rama dan Kanjeng berangkat ke Surabaya. Langit masih terlelap, bulan masih bertengger di atasnya. Ini adalah waktu yang tepat untuk membaringkan diri pada empuknya bulu angsa berbalut dengan sarung yang kita namakan bantal. Membuat cerita dimensi yang nakal dengan mata terpejam bukan menjadi dosa bila dilakukan di waktu ini. Tapi menjadi dosa bila aku yang melakukan kegiatan-kegiatan itu untuk saat ini. Aku harus berjaga dan menyiapkan segalanya.
Aku mulai dengan membereskan isi kamar Rama dan Kanjeng. Naluri  seorang pesuruh sepertiku yang jelas tanpa disuruh sudah menjadi kewajiban mulai beraksi. Sambil menggenggam sapu ijuk aku telusuri lantai-lantai yang sebenarnya tak kotor mungkin hanya debu yang tidak sampai sekuku. Sampai akhirnya di depan pintu kamar Dyah. Dyah adalah putri yang dianggap si bungsu dari hasil perkawinan kedua Rama dengan Kanjeng. Rama pernah memiliki istri namun telah meninggal sebab penyakit kanker yang di jaman ini lagi terkenal. Entah penyakit apa itu, tapi penyakit itu penyakit yang tak bisa dihalau ancamannya. Aku memang tak mengenal istri pertama Rama tersebut. Ia telah tiada sebelum aku menanjakan kaki di ubin rumah ini.
Dyah punya paras yang ayu. Ia memiliki dua lesung pipit yang membantunya tampak manis bila tersenyum. Rambutnya yang hitam legam dilengkapi bentuknya yang berombak bak air laut bergulung-gulung di laut. Hidungnya yang mungil dan mancung serta mulut yang tipis merah merekah menambah daya tarik kaum adam. Di usia 18 tahun menuju 19 ia semakin kemilau atas prestasi-prestasinya pula.
“ Klek..” bunyi seorang sedang membuka pintu yang membuyarkan lamunanku.
“Bibik, ngapain bengong di depan pintu? pagi-pagi  kok ngelamun?” Suara merdu itu benar-benar menghangatkanku yang tadi setengah kaget.
“Eh, maaf non tadi saya habis nyapu-nyapu dari subuh tadi” jawabku sambil terkekeh. “Bapak tadi pergi ke Surabaya sama ibu katanya nona Dyah sama mbak-mbaknya baik-baik di rumah” jelasku kepada Dyah.
 Kali ini wajah yang ayu itu mulai surut berganti wajah suram yang bila dilihat sangat teramat disayang. Aku tahu bahwa ia kecewa bukan karena pesan Rama yang tadi kusampaikan tapi karena kepergian Rama. Ia akan jadi bulan-bulanan kakak-kakaknya dari istri pertama Rama. Seperti kisah anak tiri lainnya, namun Dyah bukan sebagai korban kekejaman fisik.
“Kau tak pergi pula?” tanya Dewi yang bersandar di tiang tangga yang ternyata dari tadi mendengar pembicaraanku. Dyah membungkam. Dewi menampakan wajah ingin tahu sambil melipatkan tangannya di depan dada. Keigingintahuannya bukan sebagai rasa penasaran. Seperti mencengkeram leher semampai Dyah dengan tatapan tajam. Aku hanya diam sambil menggenggam erat pegangan sapu. Ingin menampar mulut jahat itu namun aku siapa? genggaman ini semakin mengeras tapi mungkin cukup di sini saja. “Nikmati harimu dengan kami” kata Dewi sambil lewat di depan aku dan Dyah. Mungkin malas untuk menunggu jawaban dari pertanyaan tanpa jawaban. Dan itu adalah penanda waktu derita di mulai dari sekarang.
***
Hari tak mau tetap pada ini ia berjalan ikut dengan jam yang tak mau menunggu detik yang selalu berlalu mengitari waktu. Perjalanan Rama dan Kanjeng belum juga pada akhir. Siksa batin juga tak kunjung henti seperti yang terjadi pada diri Dyah. Dirinya yang biasanya mau ku beri susu tiap pagi mulai menolaknya. Kali ini lebih sering mengurung di kamar. Malam dilewatinya dengan kamar yang masih menyala hingga fajar menyingsing. Bila aku masuk ke kamarnya air mukanya bukan seperti wanita yang patah hati karena cinta. Air mukanya kering karena haus akan buaian kasih sayang. Yang aku tahu ia bukan seorang si cantik Srikandi yang mencari Arjuna. Paras indahnya justru buatnya menjadi beban yang teramat berat.
Di suatu malam yang tanpa bulan Dyah mengeluarkan peluh yang tak berkesudahan. Aku masuk ke kamarnya. “Non, bibik takut Rama marah. Non jangan buang air mata terus,ya!” kataku sambil mengelus rambut berombaknya yang indah. Rambutnya harum dan lebat membuat tangan siapapun ingin merabanya. Namun daya tarik rambut itu kini menjadi berubah fungsi sebagai penenang hatinya yang hancur karena mulut usil saudari-saudarinya.
“Dok,dok,dok,” tiba-tiba suara ketukan pintu yang sepertinya ingin merusak pintu itu. “Kalau nangis jangan di sini jemput ayah biar ia menimangmu!” suara tinggi dari balik pintu yang kedengaranya sangat familiar tidak lain itu adalah suara dari Dinda. Mendengar itu suara tangisan yang semula berusaha untuk mengeluarkan semua air di mata Dyah kini tinggal tatapan kosong bercampur tetesan air mata yang terus mengucur tanpa suara.
Jam dinding bersuara untuk mendentingkan detiknya. Begitu juga dengan Dyah yang kini angkat bicara ke padaku yang setia mendampingi malamnya di kamar paling indah di rumah ini. “Bibik sekarang tidur di kamar sendiri saja. Saya tidak apa-apa sendirian” kata Dyah. Aku sebagai pembantu hanya sebagai pembantu yang wajib menjaga majikan apalagi majikan yang amat special sepertinya. Aku tak bisa berbuat lebih karena aku hanya sebagai kaki. Ribuan rayuan kusuguhkan supaya ia berhenti meratapi semua kata tajam dari saudari-saudarinya. “Baiklah,Saya ke kamar saya asal non bisa tidur” kataku. “Jangan khawatirkan saya. Bibik istirhat saja” jawab Dyah sambil tersenyum sedikit mengurangi raut wajah yang suram itu. Dengan pernyataannya yang buatku yakin maka aku meninggalkan Dyah sendirian mungkin ia ingin merenunginya.
***
“Ting tong” bunyi bel tanda bahwa ada yang datang. Rama dan Kanjeng datang ini adalah akhir dari tangisan Dyah. Aku segera menyongsong ke depan dan menyambut mereka dengan teramat bahagia seperti menghirup udara segar yang amat nikmat. “Ayah!” tiba-tiba 2 gadis berteriak sangat ramai datang dengan sikap kekanak-kanakan. Melihat pemandangan itu aku hanya tersenyum sedang melihat Rama namun aku ngeri melihat wajah srigala berbulu domba kedua gadis itu. “Mana Dyah?” Tanya Rama. “Masih tidur, Rama” jawabku sambil membawakan semua bawaan yang terlihat banyak bingkisan yang sangat menyenangakan. Tak sabar ingin bertemu dengan gadis kesayangannya Rama menuju kamar Dyah. Ia mengetuk pintu dengan raut wajah amat sumringah. Ketukan pintu itu tak dijawab oleh penhuni kamar itu. Berkali-kali Rama melakukan hal yang sama. Akhirnya ia memegang gagang pintu dan pintu tidak kunci. Setelah melihat isi kamr itu wajah Rama berubah 180% menjadi geram memanggil-manggil aku sangat keras. “Pesan saya tidak kau lakukankah?” tanyanya dengan suara gempar. “Tidak Rama, Nona semalam ada di sini. Selama Rama pergi ia mengurung diri di kamar tak mau makan” jawabku takut. Dengan sikap Rama yang tidak tahan lagi aku ceritakan semua kejadian yang menyebabkan Dyah sedih dan sekarang kabur dari rumah. Ku lontarkan semua yang mebuatnya sedih berkepanjangan sempat Dyah berkata bahwa ia tak mau dilahirkan sebagai gadis yang sempurna di mata manusia sekalipun.
Sigap dan mengejutkan suara tamparan menghujani pipi-pipi saudara-saudara Dyah. Rama tak berpikir panjang. Ia menyuruh mereka mencari saudaranya yang sedang nelangsa itu. “ Kalian itu ular. Hati kalian juga busuk termakan iri dengki. Cari adikmu jangan kembali sebelum dapat” ucap Rama yang luap geramnya. Beliau pula mencari dengan mengerahkan semua pegawai. Hatinya meledak bagai gunung api yang semburkan larva.
***
“Selamat pagi pemirsa di beritakan penemuan mayat seorang gadis berumur 19 tahun tewas di dekat pemandian air terjun Nglirip. Mayat  gadis tersebut ditemukan warga sekitar air terjun Nglirip di daerah Tuban. Diperkirakan tewas diakibatkan tenggelam di sungai air terjun tersebut. Sekian berita dari Hot News” suara tegas dari pembawa berita di televisi tadi pagi.
***
Ayah, aku pergi untuk saudara-saudaraku. Aku ingin kau beri semua milikmu pada mereka. Tak usah peduli bila aku jadi apa, tak usah peduli aku hidup dengan siapa. Aku baik-baik saja. Aku punya ini semua untuk hidupku kelak. Tenang saja aku kan anak ayah yang paling hebat untuk ayah. Mbak-mbakku didandani yang cantik biar mereka lebih hebat dari aku.
          Salam cinta dari anakmu,

Dyah Kusuma
Surat sepesial untuk Rama dari kamar Dyah Kusuma.


KUMPULAN SINOPSIS CERPEN “DAUN KERING” Karya : TRISNO SUMARDJO


Kumpulan cerpen karya Trino Sumardjo ini ada sembilan buah cerpen. Semuanya memiliki sudat pandang orang ketiga serba tahu (omniscient). Ejaan karyanya ini juga menggunakan ejaan lama dan meggunakan bahasa yang indah. Cerita di dalam cerpennya hampir berhubungan dengan masa perang baik pra maupun pasca.
1.      DAUN KERING
Cerpen ini mengisahkan seorang yang berada di wilayah yang suram. Wilayah itu merupakan wilayah penyesatan, pelalaian dan penguburan, namanya adalah Bawah Sadar dan jalannya bernama Bawah Alam. Orang itu mendengar nama-nama tersebut dari dua orang yang bercakap-cakap mengenai wilayah itu.
Wilayah itu dulunya makmur, namun wilayah itu tandus karena penduduknya tak berdaya. Penduduk tersebut kehabisan tenaga oleh pergulatan berebut kekuasaan. Mereka semua dibutakan oleh keserakahan sehingga negaranya kering tandus. Tetapi, ada juga yang berjiwa besar tetapi tidak dihiraukan malahan disingkirkan oleh orang-orang yang serakah itu.
Seorang yang berada di wilayah itu tadi dengan tubuh yang lemas menuju ke batu karang. Ia menemukan banyak sekali mayat-mayat yang hangus. Mayat-mayat itu adalah kaum pejuang muda. Jasa mereka hanya ditandai dengan tugu-tugu peringatan. Sungguh ironi, ditambah lagi yang tinggal di wilayah itu adalah kurcaci yang cerewet, licik dan memiliki tabiat yang jahat. Kurcaci itu suka memakan habis semua yang tumbuh di wilayah itu.
Setelah dari batu karang orang itu ditinggal oleh dua orang yang bercakap-cakap yang ternyata adalah kawanya sendiri. Tak sampai disitu, ia kini diserang oleh kurcaci jahat itu dan dunia semakin gelap dan dingin baginya.
Tapi tidak, ternyata dia bangun. Ternyata itu adalah kayalan di saat ada hujan dan angin ribut disekitar rumahnya.



2.      TIGA HARI DI DUNIA
Cerpen ini mengisahkan tentang  perjuangan seorang wanita untuk melahirkan buah hatinya yang pertama. Tini yang merupakan nama wanita itu, menjalani tugas seorang ibu yaitu mengandung. Untuk menjalani masa itu sangatlah berat apalagi itu adalah pertama kalinya ia mengandung.
Suaminya mengira-ngira bahwa segala tekanan yang ada pada Tini akan melahirkan anak yang kuat. Di saat tengah malam, Tini mulai nyeri dan pucat sehingga suaminya mengantarkan dia ke klinik. Sesampainya di sana, perawat klinik itu memeriksa kandungan Tini. Ia berkata bahwa Tini sangat lemah juga kandungannya. Sebab lemahnya itu karena ia tak mengkonsumsi vitamin sehingga kandungannya terlambat melahirkan satu bulan. Akhirnya, ia menjalani proses operasi. Rasa berdebar kian menyelubungi hati suami Tini. Ia mengalihkan dengan mempersiapkan nama untuk calon bayinya itu.
Semua perjalanan yang berat itu akhirnya membuahkan hasil, lahirlah bayi perempuan yang cantik parasnya. Namun, setelah tiga hari bayi itu meninggal oleh karena jantungnya lemah. Sang suami sedih akan kenyataan itu. Ia berusaha pelan-pelan memberitahu Tini agar ia tak kaget mendengar berita itu.
Mendengar berita itu Tini berjanji tidak akan mau merasa tersiksa seperti itu lagi. Tapi takdir memanglah takdir Tini dan suaminya hanya bisa mengucapkan selamat tinggal kepada buah hatinya yang hanya berumur tiga hari itu.
3.      TUAN SJEK JANG MENGAGUMKAN
Cerpen ini mengisahkan tentang perjalanan seseorang yang hebat. Orang hebat itu bernama tuan Sjek. Ia memeliki perawakan yang tua, gagah dan bijaksana. Umurnya padahal 26 tahun tetapi ia sudah mempunyai janggut panjang dan pengalaman yang sangat banyak.
Bersamaan pula di jaman itu merupakan jaman yang penuh dengan pembedaan ras, suku dan agama. Orang-orang memiliki sifat yang individual dan materialistis. Namun, kehadiran Tuan Sjek yang memiliki pengalaman dan pengetahuan banyak itu telah membuka mata orang-orang akan nilai-nilai sebuah kehidupan yang beragam.


4.      KABUT DIKAKI LANGIT
Cerpen ini mengisahkan tentang anak muda yang berjuang di kala perang. Bersama dengan pemuda-pemuda yang lain dan penduduk negerinya, semuanya bekerjasama mempertahakan tanah mereka. Semula rumah-rumah penduduk itu adalah tempat tinggal yang nyaman kini menjadi menjadi markas-markas para gerilyawan.
Pak Rohadi yang merupakan pemimpin pasukan pemuda-pemuda itu memberikan arahan dan perintah untuk bersiasat melawan para penjajah itu. Ia juga memberikan nasehat kepada para pejuang agar semangat untuk mempertahankan tanah air mereka.
Di belakang gunung Merbabu juga ada pasukan pembela tanah air. Pasukan itu dipimpin oleh Pak Sasono. Pasukan ini paling dekat dengan Belanda. Dengan posisi itu dari arah kejauhan helikopter Belanda terlihat melewati wilayah status quo mereka. Tepat di depan posisi persembunyian mereka merupak garis yang terlarang bagi para penduduk dan penjajah sekalipun.
Asap bergumpal-gumpal memenuhi wilayah dekat garis terlarang itu. Pasukan pribumi tak mampu melihat dengan mata telanjang apa yang terjadi di sana. Salah satu dari pejuang muda itu berusaha melihatnya. Ia mengira itu merupakan kabut dari embun pagi.
Lalu dilanjutnya tugas mereka untuk memata-matai musuh. Namun, kabut itu lama kelamaan terlihat merah-jingga. Tubuh pemuda itu terepelanting beserta yang lain. Lantas semuanya menjadi sunyi. Dua hari kemudian surat–surat kabar memuat berita bahwa Belanda melanggar lagi wilayah status quo.

5.      HAWA PANAS DALAM KERETA-API
Cerpen ini mengisahkan tentang keaadaan di dalam kereta api Indonesia di masa seusai kemerdekaan. Di dalam kereta api ini ada beratus-ratus orang yang masuk di dalamnya. Dahulu kereta api itu membedakan kelasnya, tetapi kini di sana semua menjadi satu karena adanya masa kemerdekaan. Sehingga dapat terlihat berbagai kalangan seperti prajurit, pengusaha, bahkan ibu rumah tangga ada di situ. Hingga ada kejadian bahwa dua prajurit di kereta api itu kehilangan karcis dan terjadi perdebatan dengan petugasnya. Kedua prajurit itu menyuruh petugas untuk menarik karcisnya itu kepada pemerintah karena sekarang mereka tak memiliki uang sepeserpun.
Kejadian itu terdengar dan disaksikan pula oleh penumpang yang lain dan menyebab orang-orang membela kedua prajurit itu. Mereka merasa sependapat dengan kedua prajurit yang pulang tanpa penghargaan dari pemerintah bahkan tak memiliki sepeser uangpun.

6.      DIA AKAN BERKEMBANG
Cerpen ini mengisahkan tentang pohon dan manusia yang berada didekat jendela. Pohon itu tumbuh dengan cepat beserta rumput-rumput di taman. Meskipun berganti musim, pohon itu masih menikmati kehidupannya di alam.
Suatu hari ia mendengar suara dua manusia sendang bercakap-cakap dibalik jendela. Kedua manusia itu sedang membicarakan dia. Tampaknya salah satu dari manusia itu ingin memindahkan dirinya bila tidak berbuah banyak. Ia mulai sadar bahwa manusia lebih berkuasa atas hidupnya yang dapat membuangnya bila dirasa tidak menguntungkan.
Semenjak itu terjadilah pertarungan seru di bawah tanah. Si pohon tiap hari mulai memamerkan kesuburanya bila ia melihat manusia di dekat jendela. Hampir usahanya itu behasil, tiba-tiba badai datang dan separuh dari batanganya jatuh ke tanah.
Beberapa waktu kemudian luka pohon itu sembuh dan tumbuh tunas baru. Tanpa diduga olehnya, serangan ulat datang menggerogoti tunasnya itu. Untunglah ada mahkluk bernama burung yang membasmi musuhnya itu.
Di sisi lain, manusia itu juga memiliki perputaran nasib yang sama dengan si Pohon. Manusia itu bersama sesamanya yang lain mempertahankan dirinya dari serangan penjajah entah karena mereka gerilyawan ataupun tentara.
Keesokan harinya ketika manusia itu membuka jendelanya, ia melihat bahwa masih ada ulat yang tertinggal sehingga daun-daun pohon itu nyaris habis. Manusia itu lalu membakar tubuh ulat-ulat itu bersamaan dengan tubuh pohon itu. Lalu esok harinya manusia itu pergi.
Ketika suasana di negeri manusia itu aman, Ia kembali dan pohon itu berkembang serta berbuah lebat, mengingatkan manusia itu akan perjuangan melawan musuh dikehidupnya dahulu.

7.      TOPENG
Cerpen ini mengisahakan ahli sungging yang tak dikenal. Namanya adalah Pak Atmo. Ia hidup bersama isntrinya di sebuah dusun yang sunyi yang bernama Sedayu. Dusun itu sangat sepi sesuai dengan kedaan Pak Atmo. Dahulu mereka mempunya tiga anak, namun semuanya telah tiada akibat perang. Akhirnya mereka pindah ke dusun Sedayu.
Meski hidupnya kecukupan bersama istri, Pak Atmo merasa sangat sepi. Ia sudah kehilangan buah hati yang amat ia cintai. Semua rasa itu dituangkanya dalam media yaitu topeng. Ia membentuk wajah anaknya lewat pahatan topengnya. Hingga akhirnya ia meninggal setelah membuat topeng anaknya yang terakhir oleh karena usianya telah lanjut. Istrinya  lalu mengikutinya dan mereka saling bertemu dengan ketiga anaknya di surga.

8.      LAHIRNYA LESTARI
Cerpen ini mengisahkan kembali tokoh Tini yang sebelumya ada pada cerpen “Tiga Hari Dunia”. Kini Tini mengandung kembali. Sudah dua tahun ia bersama suaminya dirundung kekecewaan akibat kegagalan melahirkan buah hatinya. Namun, kini Tini telah sehat dan besar badannya  tak seperti dahulu.
Sebelum menjelang sembilan bulan, ia menginginkan ibunya untuk menemaninya. Bersama ibunya, Tini sangat gembira karena dirawat dengan sangat penuh kasih sayang. Ia diberi jamu, perawatan sampai nasehat-nasehat untuk sukses menjalani proses melahirkan.
Akhirnya, meski ada kesulitan di hari kelahiran calon bayi, ia berhasil melahirkan bayinya ke dunia berkat berbagai usahanya terutama ibu dan suaminya. Bayi yang keluar dari rahim Tini itu bersama suaminya diberi nama Lestari.

9.      KENJANG ANGIN
Cerpen ini mengisahkan seseorang yang telah lama sakit di rumah sakit. Nama orang itu adalah Pak Kiman. Ia menderita penyakit yang berat. Limpa dan hati Pak Kiman sudah sangat besar, penyakit anemia-nya semakin menjadi, dan terkena batu ginjal. Nasib pak Kiman tak berkesudahan, ia ditinggal oleh istrinya menikah oleh karena tak tahan membayar obatnya. Ia hidup sebatang kara dengan penyakitnya yang kian hari kian menjadi.
Suatu hari ada seorang pengunjung mengajak bicara dan menanyai riwayat hidupnya yang menyedihkan. Pada tema pembicaraannya menuju kearah saudara, Pak Kiman ingat hanya ada satu saudaranya di Padang yang mau membantu soal keuanganya, namun selama 40 tahun hidup ia tidak mampu membaca dan menulis. Akhirnya, pengunjung itu membantu menuliskan surat kepada saudara satu-satunya Pak Kiman itu. Kiriman uang telah diberi, namun uang itu tak cukup untuk membayar semua hutang obat.
Waktu terus berjalan, perut Pak Kiman terasa lapar karena makanan yang masuk ke dalam perutnya hanya sedikit dan seringkali dipenuhi angin di perutnya yang sakit sekaligus lapar itu. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pengunjung itu, Pak Kiman menghembuskan nafas terakhirnya.