Ini adalah sebuah esai yang pernah saya buat untuk memenuhi nilai sastra. Yah, memang ini lebih serius dibanding dengan tulisan saya sebelumnya. Silahkan menikmati.
Sutardji Calzoum Bachri. Mendengar
nama ini kita sedikit kesulitan untuk
menghafal dan melafalkannya. Bila kita tak menillik lebih jauh siapakah ia,
maka nama tersebut bukan menjadi beban di pikiran kita. Namun, nama tersebut
menjadi sangat penting bila kita ingin mengenal sastra kontemporer. Bukan lagi
sekedar namanya yang menjadi beban yang rumit bagi otak kita melainkan
karya-karyanya itulah yang membuat namanya semakin gencar untuk dijadikan objek
sastra yang memukau baik di masanya maupun di masa kini.
Dipahami dan memahami berkaitan
langsung dengan diapresiasi dan mengapresiasi. Penulis dan pembaca juga
memiliki hubungan yang erat. Hal ini merupakan tembok bagi Sutardji karena
credo Sutardji yang sangat mengganjal di otak para penikmat karya Sutardji yang
termakan njelimet-nya karya Sutardji.
Sutardji Calzoum Bachri |
Sekarang kita tinggalkan permasalahan
mengenai nama. Sutardji Calzoum Bachri kita panggil saja Sutardji, merupakan
sastrawan angkatan ’66 yang gemar sekali dengan memainkan kata. Untuk membuat
karyanya beliau memiliki ideologi atau istilahnya adalah kredo yang sangat
kuat. Kalau ingin bebas ya Sutardji
hal tersebut sangat cocok untuk para pengamat sastra yang ingin mendalami arti
kebebasan yang sesungguhnya.
Menulis puisi bagi Sutardji adalah membebaskan
kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Dari pendapatnya
ini kita bisa melihat bahwa Sutardji sudah ingin menyampaikan niatnya “Iki-loh karepku” dengan memutar-mutar
kata sehingga untuk kalangan yang tak menyukai sastra akan menjadi jengkel dan
mengatakan dalam hati “Apa sih maksudnya
?”. Tapi, kembali lagi pada kredo Sutardji yaitu bebas.
Sejarahnya, di masa angkatannya yaitu
masa 60-an bersama dengan sastrawan se-angkatanya ingin membuka jalan bagi
sastrawan-sastrawan yang dulunya terikat oleh aturan-aturan di zaman
penjajahan. Sastrawan-sastrawan memiliki misi untuk meneggakkan keadian terhadap
kesewenangan Soekarno—Presiden I Indonesia—melalui sastra. Dilihat dari isi
puisi, tampaknya Sutardji mengambil sejarah yang pertama yaitu mematahkan
aturan di zaman penjajahan yang biasanya terpaut dengan rima yang beraturan
atau alur yang jelas. Di tahun 70-an karyanya semakin bertambah berani karena
di tahun 70-an ini karya sastrawan-sastrawan berlatarbelakang semua persoalan
kehidupan merupakan ide sastra. Nah, di masa inilah diri Sutardji yang
sebenarnya. Kita simak kutipan puisi berikut:
SEPISAUPI
sepisaupi luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisauupa sepisaupoi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisaunya ke dalam nyanyi
1973
Puisi yang bejudul Sepisaupi ini sesuai dengan kredo Sutardji. Amat jelas bahwa
permainan kata “sepi” dengan “pisau” ini merupakan penyimpangan sintaksis. Dan
di sini pula kita bisa melihat bahwa Sutardji sudah menggunakan licentia poetica. Licentia Poetica ini adalah hak untuk membuat karya tanpa terikat
dengan aturan gramatikal bahasa Indonesia. Hak ini juga memperbolehkan para
pembuat puisi untuk mengunakan kata kotor atau obscene. Hal ini terlihat dari karya Sutardji yang berjudul Gajah dan Semut.
GAJAH DAN SEMUT
tujuh gajah
cemas
meniti jembut
serambut
tujuh semut
turun gunung
terkekeh
kekeh
perjalanan
kalbu
1976-1979
Coba kita lihat kata “jembut” yang ada pada bait pertama baris
ke-tiga puisi di atas. Jembut adalah
kata yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti rambut di sekitar kelamin baik
perempuan maupun laki-laki. Kata tersebut juga merupakan umpatan dalam bahasa
Jawa. Ini berarti Sutardji menggunakan lincentia
poetica lagi. Dari kedua puisinya ini juga bisa kita lihat bahwa di awal
kata pertama tidak menggunakan huruf besar. Perlakuan yang sama juga ada pada
puisinya yang berjudul Walau. Ia
berani-beraninya menulis kata “allah” dan “tuhan” dengan huruf kecil, ini
berarti ia lagi-lagi melakukan penyimpangan.
Sutardji juga bisa dibilang pujangga
berhati peri. Status ini terbukti jelas dalam puisinya yang berjudul Idul Fitri. Ia merangkai kata-kata yang
ia sebut dengan bermain kata dengan memilih kata-kata yang sedikit sulit
dicerna oleh pikiran telanjang, menggunankan istilah yang suci yang diambilnya
dari Al-Qur’an sehingga puisi Idul Fitri
ini menjadi salah satu puisi rohani Sutardji dengan estetika bahasa yang sangat
tinggi. Dalam puisi ini Sutardji tampak merendahkan dirinya sebagai pemabuk
yang berbicara melalui doa kepada Tuhan Sang Pencipta. Hawa rohani dalam puisi
ini akan menggetarkan kepada setiap pembaca meski sulit, tetapi itu bukan
menjadi alasan untuk tidak setuju bahwa puisinya ini benar-benar layaknya doa
yang agung.
Sekali lagi menjadi misterius adalah
keahlian dari Sutardji. Bagaimana tidak, semua karya-karya Sutardji bagaikan
seorang ninja yang mengendap di sunyi malam. Ya, tidak tertebak tidak terpikir.
Itulah Sutardji. Mulai dari tulisan hingga maknanya yang berati maksud hati
Sutardji, merupakan fenomena alam di era global warming, absurd.
Bagi para awam atau pemula, membaca atau
mendengar karya dari Sutardji bisa menjadi mimpi buruk, bukan karena isi atau
ada gambar kuntilanak dalam karyanya tetapi bahasa dan kata yang digunakan
Sutardji sangat abstrak (terkadang). Hal ini di dasari oleh kredo Sutardji.
Kata adalah mantra. Namun apakah semua orang bisa memaknai mantra?