Buku adalah jendela dunia. Pepatah itu
yang sering hadir dan jelas tidak asing lagi bagi telinga kita sebagai masyarakat
Indonesia. Namun, buku mulai kehilangan fungsinya lagi di mata para pemuda
Indonesia.
Seiring dengan perkembangan teknologi, kehidupan yang
global semakin memudahkan transfer informasi dari sumber mana pun. Sumber
online menjadi lebih populer karena mampu memberikan hasil secara langsung
segala bentuk informasi yang dibutuhkan pengakses internet. Internet tidak
hanya menjelma sebagai jendela, tetapi sudah menjadi gerbang bagi manusia untuk
membaca dunia. Dikenallah dunia maya atau cyber space melalui berbagai jejaring sosial seperti yahoo
messenger, friendster,
blogspot, wordpress, twitter, hingga facebook.
Tanpa disadari, minat baca konvensional masyarakat semakin berkurang dan
eksistensi buku di perpustakaan mengalami degradasi bagi para pembacanya.
Seperti yang dikutip dari harian Kompas, 26 Maret
2011, Buku, sastra, dipercaya sebagai simbol tingkat peradaban bangsa.
Namun, nasib Pusat Dokumentasi Sastra HB
Jasin di kompleks Taman Ismail Marzuki
sungguh mengenaskan.” Pusat-pusat dokumentasi yang dibangun oleh tokoh-tokoh
penting di negeri ini ternyata bernasib sami mawon. Kenyataan ini membuat gemas
sejumlah pecinta sastra yang menelurkan gerakan penggalangan simpati, termasuk
melalui media sosial. Kenyataan itu juga membuat kita bertanya, masih adakah
pesona keasyikan membaca di perpustakaan bagi anak-anak sekolah?
Pertanyaan dari kutipan berita tersebut menyiratkan
bahwa minat baca konvensional dengan pergi ke perpustakaan sudah tidak lagi
favorit bagi para pemuda Indonesia. Mereka lebih menyukai
istilahnya copy-paste dibanding
dengan membaca dan mencari di dalam buku-buku yang tebalnya hingga ratusan
halaman. Kita lihat saja dalam hal pebuatan karya tulis ataupun skripsi bagi
calon sarjana. Mereka dapat dengan mudahnya mendapatkan artikel yang menunjang
karya mereka dengan cara mencari artikel yang berhubungan di google dan copy-paste. Cara tersebut sangatlah mudah dan praktis tanpa harus
membuang-buang waktu mencarinya di perpustakaan dan membacanya satu persatu.
Itulah salah satu alasan mengapa minat baca di Indonesia khusunya para
pemudanya.
Ada banyak metode yang dapat dilakukan untuk
menghidupkan kembali budaya membaca buku dan sastra. Saat ini, konsep free wifi
zone dan mini cafe yang diterapkan perpustakaan di sekolah-sekolah sudah mulai populer. Selain memang atas dasar
kebutuhan siswa, dekorasi ruang baca yang nyaman dilengkapi dengan free wifi
zone dan mini cafe merupakan pesona tersendiri bagi perpustakaan,
seperti kata pepatah, ”Ada gula, ada semut.”
Dalam berperilaku sehari-hari, Muk Kuang dalam bukunya
Think and Act like a Winner berkata, ”First we form habits, then they
form us. Conquer your bad habits, or they will eventually conquer you.”
Peran penting sekolah tidak hanya pada pendidikan intelektual tapi juga
karakter. Sekolah yang dalam hal ini memiliki tanggung jawab penuh dalam
pengembangan kapasitas siswa, harus mampu mengetahui segala yang dibutuhkan
peserta didik. Tidak hanya sekedar memfasilitasi, tetapi juga harus
memperhatikan kondisi kekinian yang menjadi kebiasaan subyek yang
menggunakannya agar dapat mempertahankan efektivitas dan eksistensi fasilitas
yang ada.
Sekolah juga memberikan
pelatihan dan bimbingan yang intensif kepada para siswa tentang bagaimana cara
membangkitkan budaya membaca yang menyenangkan untuk karakter mereka yang masih
dibilang “ababil”. Mereka juga ingin mendapatkan hal yang berhubungan dengan
mereka dengan cara yang menyenangkan bukan dengan suguhan yang membuat mereka
tertidur oleh karena bacaan-bacaan itu berat sehingga nilai-nilai kehidupan
yang seharusnya mereka dapatkan malah hilang oleh karena anggapan mereka
mengenai buku itu sama dengan membosankan.
Sekali lagi, ”Buku, sastra, dipercaya sebagai simbol
tingkat peradaban bangsa.” Oleh karena itu, diharapkan para pelajar mulai
mencintai buku maupun sastra agar dapat memahami tingkat perkembangan peradaban
bangsanya sendiri.