Sebuah pembahasan mengenai karya sastra seorang sastrawan yang amat melegenda Trisno Sumardjo.
Tangisan
yang tak bersuara, ledakan yang bisu, kesedihan yang
tanpa peluh keadaan seperti itu
merupakan gambaran tentang tekanan masayarakat yang tak lagi mampu untuk
menyatakan rasa sakitnya lagi. Kemanakah semua suara-suara mereka?.
Dalam
era pasca kemerdekaan “diam” adalah emas. Demikian halnya dengan suara
masyarakat Indonesia, semakin sedikit suara mereka terhadap pemerintah semakin aman
hidup mereka pula. Ini dikarenakan para pejabat negara yang subur dan katanya
makmur ini sibuk menggerus kekayaan negaranya ini. Mereka tak ingin ambil
pusing untuk menyingkirkan masyarakat pribumi yang dianggapnya menghambat niat
mereka. Sebagai salah satu makhluk pribumi, Trisno Sumardjo ingin menyentil telinga para pejabat itu
melalui kumpulan cerpennya yaitu Daun
Kering.
Daun
adalah bagian dari tanaman yang merupakan alat pernafasan dan pengelola makanan
bagi tanaman itu sendiri. Jika daun itu kering maka tanaman itu akan kesulitan
untuk tumbuh bahkan mati. Dengan definisi tersebut Trisno menyamakannya dengan
kondisi masyarakat Indonesia di masa pasca kemerdekaan itu. Penggambaran
daun-daun yang kering itu adalah masyarakat yang tak lagi berdaya.
Seakan-akan
masyarakat hanya menjadi “sapi perah” oleh para pejabat-pejabat itu. Kaum
pejuang tak ada artinya lagi bagi pemerintah, sampai-sampai tiket kereta api
saja tak mampu dibayar. Hal ini tampak pada cerpen nomor limanya yang berjudul Hawa Panas Dalam Kereta-Api. Kejadian
yang serupa namun tak sama juga ada pada cerpen yang berjudul Kenjang Angin. Di dalam cerpen itu,
Trisno menyampaikan pesannya lewat tokoh utama yang bernama Pak Kiman. Kedua
cerpen tersebut memiliki makna yang sangat dalam tentang ketidakadilan
pemerintah yang seharusnya menyejahterahkan rakyatnya tanpa terkecuali.
Di Balik Ketidakadilan
Meski keadaan masyarakat pada era kemerdekaan
itu tidak sesuai dengan harapan dan kenyataannya disebut “merdeka”, di dalam
diri tiap individu masyaakat Indonesia masih ada rasa tegar dan berjuang.
Semangat untuk menghadapi terpaan angin yang digambar lewat pohon dalam cerpen
berjudul Dia Akan Berkembang mulai
tampak batang hidungnya. Dalam cerpen ini
dikisahkan
tentang macam-macam masalah atau gangguan pada pohon selagi ia berkembang.
Dimulai dari keinginan untuk mempunyai buah lebat, terpaan badai, sampai pada
serangan ulat yang menghabiskan daun-daun pohon itu. Dari situ si pemilik pohon
dapat melihat bahwa hidup di dunia ini tanpa adanya tantangan bukanlah hidup
sejati.
Cerita-cerita
pendek yang Trisno Sumardjo hadirkan tidak hanya menyentil telinga para pejabat negara tetapi juga memberikan
wawasan terahadap para pemabacanya akan kebangkitan diri manusia itu sendiri
dalam menghadapi kerasnya hidup dalam negeri seusai perang. Nilai-nilai moral
yang dikandung dalam cerpennya juga terselubung dalam bahasa indah yang
digunakannya.
Seperti
pada cerpen yang berjudul Topeng. Di
sini Trisno kembali ingin menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari effect perang. Seorang yang bernama Pak
Atmo hidup hanya bersama istrinya di tempat yang sunyi dan tentram. Di balik
ketentraman itu ada rasa rindu yang besar dalam diri Pak Atmo. Ia kehilangan
anak-anak yang merupakan asset penerusnya.
Anak-anaknya mati akibat dasyatnya perang. Pada
akhirnya Pak Atmo ingin mengobati rasa rindunya itu dengan membuat topeng yang
berbentuk sama dengan paras anak-anaknya itu.
Adalagi cerpen dalam kumpulan cerpen
Trisno yang berjudul Tiga Hari Di Dunia.
Dalam sudut pandangnya yaitu omniscient,
Trisno menggambarkan proses melahirkan dengan tokoh utamanya bernama Tini. Tini
mempunyai tubuh yang lemah untuk dapat melahirkan dengan sempurna. Memang
kemungkinan jabang banyinya selamat sangatlah kecil, namun kegigihan dan
kesabaran karakternya bisa membuat pembaca bangkit untuk berjuang melawan
ketidakmungkinan itu. Tapi sayang,
memang hasilnya tak memuaskan. Bayi Tini tak dapat tertolong oleh karena
jantungnya lemah. Memang dari cerpen Trisno yang satu ini di luar dari contra-nya ia terhadap pemerintah pasca
kemerdekaan, akan tetapi nilai moral yang ingin disampaikannya ini sama dengan
ke-sembilan cerpen dalam kumpulan cerpennya itu.
Di balik tekanan pemerintahan yang keji
itu, Trisno ingin “mengeruk” nilai positive
yang ada dalam setiap diri
masyarakat Indonesia. Dengan diksi indah yang ia gunakan, para pembaca bisa
merasakan getaran isi hati rakyat yang menderita dan berjuang. Sehingga suara
diam mereka dapat menyentil bahkan
“menusuk” kedalam telinga si tamak negeri kita ini.
download cerpenya dimana ya kak?
ReplyDeletecari di perpus dek.
ReplyDelete