Thursday, February 14, 2013

Esai: SUARA SUNYI


Sebuah pembahasan mengenai karya sastra seorang sastrawan yang amat melegenda Trisno Sumardjo.

Tangisan yang tak bersuara, ledakan yang bisu, kesedihan yang tanpa peluh  keadaan seperti itu merupakan gambaran tentang tekanan masayarakat yang tak lagi mampu untuk menyatakan rasa sakitnya lagi. Kemanakah semua suara-suara mereka?.
Dalam era pasca kemerdekaan “diam” adalah emas. Demikian halnya dengan suara masyarakat Indonesia, semakin sedikit suara mereka terhadap pemerintah semakin aman hidup mereka pula. Ini dikarenakan para pejabat negara yang subur dan katanya makmur ini sibuk menggerus kekayaan negaranya ini. Mereka tak ingin ambil pusing untuk menyingkirkan masyarakat pribumi yang dianggapnya menghambat niat mereka. Sebagai salah satu makhluk pribumi, Trisno Sumardjo ingin menyentil telinga para pejabat itu melalui kumpulan cerpennya yaitu Daun Kering. 
Daun adalah bagian dari tanaman yang merupakan alat pernafasan dan pengelola makanan bagi tanaman itu sendiri. Jika daun itu kering maka tanaman itu akan kesulitan untuk tumbuh bahkan mati. Dengan definisi tersebut Trisno menyamakannya dengan kondisi masyarakat Indonesia di masa pasca kemerdekaan itu. Penggambaran daun-daun yang kering itu adalah masyarakat yang tak lagi berdaya.
Seakan-akan masyarakat hanya menjadi “sapi perah” oleh para pejabat-pejabat itu. Kaum pejuang tak ada artinya lagi bagi pemerintah, sampai-sampai tiket kereta api saja tak mampu dibayar. Hal ini tampak pada cerpen nomor limanya yang berjudul Hawa Panas Dalam Kereta-Api. Kejadian yang serupa namun tak sama juga ada pada cerpen yang berjudul Kenjang Angin. Di dalam cerpen itu, Trisno menyampaikan pesannya lewat tokoh utama yang bernama Pak Kiman. Kedua cerpen tersebut memiliki makna yang sangat dalam tentang ketidakadilan pemerintah yang seharusnya menyejahterahkan rakyatnya tanpa terkecuali.


Di Balik Ketidakadilan
 Meski keadaan masyarakat pada era kemerdekaan itu tidak sesuai dengan harapan dan kenyataannya disebut “merdeka”, di dalam diri tiap individu masyaakat Indonesia masih ada rasa tegar dan berjuang. Semangat untuk menghadapi terpaan angin yang digambar lewat pohon dalam cerpen berjudul Dia Akan Berkembang mulai tampak batang hidungnya. Dalam cerpen ini dikisahkan tentang macam-macam masalah atau gangguan pada pohon selagi ia berkembang. Dimulai dari keinginan untuk mempunyai buah lebat, terpaan badai, sampai pada serangan ulat yang menghabiskan daun-daun pohon itu. Dari situ si pemilik pohon dapat melihat bahwa hidup di dunia ini tanpa adanya tantangan bukanlah hidup sejati.
Cerita-cerita pendek yang Trisno Sumardjo hadirkan tidak hanya menyentil telinga para pejabat negara tetapi juga memberikan wawasan terahadap para pemabacanya akan kebangkitan diri manusia itu sendiri dalam menghadapi kerasnya hidup dalam negeri seusai perang. Nilai-nilai moral yang dikandung dalam cerpennya juga terselubung dalam bahasa indah yang digunakannya.
Seperti pada cerpen yang berjudul Topeng. Di sini Trisno kembali ingin menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari effect perang. Seorang yang bernama Pak Atmo hidup hanya bersama istrinya di tempat yang sunyi dan tentram. Di balik ketentraman itu ada rasa rindu yang besar dalam diri Pak Atmo. Ia kehilangan anak-anak yang merupakan asset penerusnya. Anak-anaknya mati akibat dasyatnya perang. Pada akhirnya Pak Atmo ingin mengobati rasa rindunya itu dengan membuat topeng yang berbentuk sama dengan paras anak-anaknya itu.
Adalagi cerpen dalam kumpulan cerpen Trisno yang berjudul Tiga Hari Di Dunia. Dalam sudut pandangnya yaitu omniscient, Trisno menggambarkan proses melahirkan dengan tokoh utamanya bernama Tini. Tini mempunyai tubuh yang lemah untuk dapat melahirkan dengan sempurna. Memang kemungkinan jabang banyinya selamat sangatlah kecil, namun kegigihan dan kesabaran karakternya bisa membuat pembaca bangkit untuk berjuang melawan ketidakmungkinan itu.  Tapi sayang, memang hasilnya tak memuaskan. Bayi Tini tak dapat tertolong oleh karena jantungnya lemah. Memang dari cerpen Trisno yang satu ini di luar dari contra-nya ia terhadap pemerintah pasca kemerdekaan, akan tetapi nilai moral yang ingin disampaikannya ini sama dengan ke-sembilan cerpen dalam kumpulan cerpennya itu.
Di balik tekanan pemerintahan yang keji itu, Trisno ingin “mengeruk” nilai positive  yang ada dalam setiap diri masyarakat Indonesia. Dengan diksi indah yang ia gunakan, para pembaca bisa merasakan getaran isi hati rakyat yang menderita dan berjuang. Sehingga suara diam mereka dapat menyentil bahkan “menusuk” kedalam telinga si tamak negeri kita ini. 

2 comments: