Monday, March 25, 2013

Refleksi:GELAR TAK SEINDAH KENYATAAN

lagi-lagi, sedikit permenungan tentang negeri kita Indonesia mengenai keadilan.

Keadilan. Sekarang dewasa ini mengalihkan kata tersebut dengan menambah “tidak” yaitu Ketidakadilan. Saya memiliki beberapa pertanyaan dengan kata dasar adil.  Apa yang mulai anda pikirkan dengan adanya kata adil? Apakah adil itu membagi menjadi dua? Apakah arti adil?
Ada yang berpikir bahwa adil itu mengenai hukum. Ada pula yang menyangkut-pautkan dengan pengadilan. Semua itu berhubungan dengan orang yang pandai dalam hal tersebut. Bila berhubungan dengan orang pandai pastilah ia belajar dengan sungguh apa yang harus ia lakukan dengan itu, tindakan yang juga harusnya baik pula untuk melakukan hal itu.
Tapi, semua itu tak sesuai dengan gelar yang disandang orang-orang pandai yang berhubungan dengan hukum atau pengadilan. Perilaku mereka justru kebalikan dari yang namanya pandai. Bahkan anugerah yang diberikan oleh Tuhan—hati nurani—sudah tak ada lagi bagi orang-orang tersebut. Sehingga munculah kata yang panjang namun negatif yaitu Ketidakadilan.
Beberapa kasus mengenai ketidakadilan mewarnai di dunia ini. Pelakunya bukan hanya orang yang tak beragama tetapi juga orang yang beragama. Juga dari antaranya mereka yang berpangkat tinggi yang dulunya menekuni bidang hukum yang berarti orang-orang yang pandai. Mereka rata-rata melakukan ketidakadilan kepada sesamanya dengan motif semau gue alias egois. Entah apa yang mereka pelajari mengenai hukum itu sendiri. Apakah para dosen atau guru mengajarkan teori mereka dengan disisipkan hal yang negatif? Saya rasa tidak.
Adil dalam pengertiannya bukan hanya membagi menjadi dua. Jika hanya ditelan mentah-mentah maka membagi menjadi dua saja itu malah bisa dikatakan tidak adil. Misalnya, ada kakak-adik yang berbeda usia dan mereka kelaparan. Ibu mereka hanya memiliki satu potong roti saja. Lalu ibu mereka membagi roti tersebut menjadi setegah-setengah. Padahal si kakak berusia 17 tahun dan adiknya berusia 5 tahun. Apakah ini di sebut adil? Mungkin bolehlah kita mengatakannya adil. Tapi coba kita ambil contoh kasus yang sedang marak di Indonesia tentang pencuri sandal dan nenek yang mencuri buah kakao. Mereka semua divonis hukuman yang sama dengan seorang koruptor yang menikmati uang tidak hanya beberaa ratus ribu bahkan miliaran. Ditambah lagi koruptor tersebut merupakan orang yang menjabat di pemerintahan dan juga dipenjara yang kualitasnya bak berada di hotel bintang lima. Apakah ini masih disebut adil?
   Dari kedua kasus diatas,kasus yang menimpa bocah pencuri sandal jepit dan nenek pencuri buah kakao jelas Tidak ada keadilan disitu. Karena hukuman yang adil bukan sekedar berdasarkan pasal sekian pasal sekian,tapi ada pertimbangan lain,ada hati nurani dan peri kemanusiaan. Jika melihat dari sisi pasal-pasal yang tertera dalam KUHP,sang bocah dan nenek minah memang bisa dikatakan bersalah. Karena dia mencuri. Namun dari sisi lain,apakah itu dapat disebut hukum berkeadilan? Hanya mencuri tiga buah kakao yang dilakukan seorang anak dibawah umur dan perempuan tua,harus dihukum,sedangkan para koruptor yang melahap uang Negara Negara/rakyat sampai milyaran rupiah bebas karena katanya ‘’tidak ada bukti’’?
Sebenarnya ada apa dengan dunia hukum kita? Siapa pun orangnya sama di hadapan hukum,Itu benar seratus persen. Namun kenyataannya di negara kita ini berbeda. Tidak semua orang sama di depan hukum.di Negara ini jika orang besar dituduh berbuat kesalahan apalagi yang dituduh mempunyai kekuasaan meskipun jelas ada bukti bersalah,tak langsung menerima hukuman. Proses pengadilannya bisa diulur-ulur atau ditunda-tunda,bahkan bisa sampai ‘’hilang’’ di tengah jalan. Berbeda dengan orang kecil yang dituduh berbuat kesalahan,’’cepat’’ dijatuhi hukuman,padahal banyak kejadian,kemudian terbukti dia tidak bersalah. Tapi dia sempat menjalani hukuman sampai bertahun-tahun. Tidak ada ganti rugi apapun dari pemerintah. Jadi hukum yang bagaimana yang harus ditegakkan di Negara ini? Yang Sering kali para pemimpin bangsa ini menyuarakannya di media-media. Apakah hanya hukum yang berdasar pasal demi pasal? Atau hukum yang berkeadilan,berhati nurani,dan bukan hukum yang buta?.
Kepastian hukum di negeri demokrasi ini sangat mahal. Selain itu, proses penegakan hukum pun acapkali melanggar hukum. Artinya, menghalalkan segala cara untuk memenjarakan kebenaran dan ketidakadilan atas dalih keamanan dan kenyamanan persekusi etnisitas kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Ironisnya, oknum penegak hukum yang terhormat dari kaum intelektual pun cenderung dicap setia dan sehati dalam upaya memarjinalisasi kepentingan atas hak kebebasan berpikir dan berpendapat serta berekspresi secara publik terhadap perjuangan membela kebenaran dan ketidakadilan.
Akibatnya, hukum yang semestinya menjadi panglima untuk membangun kesadaran berpikir kritis dalam paradigma baru berdemokrasi serta menjaga persatuan dan kesatuan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat semakin karut-marut dan bahkan selalu menjadi sorotan publik internasional. Dalam konteks ini, hukum pun menjelma menjadi dagelan pertunjukan budaya salah kaprah yang cacat moral serta tidak bernalar dan berlogika.
Lepas dari itu semua memang yang namanya gelar, kepandaian, pangkat, kekayaan, semua tak bisa disandingkan dengan kebijaksanaan yang membuat keadilan. Semua itu hanya sebagai keindahan dibelakang nama mereka. Berbicara mengenai hukum itu semua menjadi hal yang percuma dan sia-sia karena sebenarnya bukan para ahli yang patut disebut adil melainkan tindakan yang kita lakukan dan kita sadar bahwa apa yang harus kita lakukan bukan hanya sebatas aturan yang dibuat.



No comments:

Post a Comment