lagi-lagi, sedikit permenungan tentang negeri kita Indonesia mengenai keadilan.
Keadilan. Sekarang dewasa ini mengalihkan kata tersebut dengan menambah “tidak” yaitu Ketidakadilan. Saya memiliki beberapa pertanyaan dengan kata dasar adil. Apa yang mulai anda pikirkan dengan adanya kata adil? Apakah adil itu membagi menjadi dua? Apakah arti adil?
Ada yang berpikir bahwa adil itu
mengenai hukum. Ada pula yang menyangkut-pautkan dengan pengadilan. Semua itu
berhubungan dengan orang yang pandai dalam hal tersebut. Bila berhubungan
dengan orang pandai pastilah ia belajar dengan sungguh apa yang harus ia
lakukan dengan itu, tindakan yang juga harusnya baik pula untuk melakukan hal
itu.
Tapi, semua itu tak sesuai dengan gelar
yang disandang orang-orang pandai yang berhubungan dengan hukum atau
pengadilan. Perilaku mereka justru kebalikan dari yang namanya pandai. Bahkan
anugerah yang diberikan oleh Tuhan—hati nurani—sudah tak ada lagi bagi
orang-orang tersebut. Sehingga munculah kata yang panjang namun negatif yaitu
Ketidakadilan.
Beberapa kasus mengenai ketidakadilan
mewarnai di dunia ini. Pelakunya bukan hanya orang yang tak beragama tetapi
juga orang yang beragama. Juga dari antaranya mereka yang berpangkat
tinggi yang dulunya menekuni bidang hukum yang berarti orang-orang yang pandai.
Mereka rata-rata melakukan ketidakadilan kepada sesamanya dengan motif semau gue alias egois. Entah apa yang
mereka pelajari mengenai hukum itu sendiri. Apakah para dosen atau guru mengajarkan
teori mereka dengan disisipkan hal yang negatif? Saya rasa tidak.
Adil dalam pengertiannya bukan hanya
membagi menjadi dua. Jika hanya ditelan mentah-mentah maka membagi menjadi dua
saja itu malah bisa dikatakan tidak adil. Misalnya, ada kakak-adik yang berbeda
usia dan mereka kelaparan. Ibu mereka hanya memiliki satu potong roti saja. Lalu
ibu mereka membagi roti tersebut menjadi setegah-setengah. Padahal si kakak
berusia 17 tahun dan adiknya berusia 5 tahun. Apakah ini di sebut adil? Mungkin
bolehlah kita mengatakannya adil. Tapi coba kita ambil contoh kasus yang sedang
marak di Indonesia tentang pencuri sandal dan nenek yang mencuri buah kakao.
Mereka semua divonis hukuman yang sama dengan seorang koruptor yang menikmati
uang tidak hanya beberaa ratus ribu bahkan miliaran. Ditambah lagi koruptor
tersebut merupakan orang yang menjabat di pemerintahan dan juga dipenjara yang
kualitasnya bak berada di hotel bintang lima. Apakah ini masih disebut adil?
Dari kedua kasus
diatas,kasus yang menimpa bocah pencuri sandal jepit dan nenek pencuri buah
kakao jelas Tidak ada keadilan disitu. Karena hukuman yang adil bukan sekedar
berdasarkan pasal sekian pasal sekian,tapi ada pertimbangan lain,ada hati
nurani dan peri kemanusiaan. Jika melihat dari sisi pasal-pasal yang tertera
dalam KUHP,sang bocah dan nenek minah memang bisa dikatakan bersalah. Karena
dia mencuri. Namun dari sisi lain,apakah itu dapat disebut hukum berkeadilan?
Hanya mencuri tiga buah kakao yang dilakukan seorang anak dibawah umur dan
perempuan tua,harus dihukum,sedangkan para koruptor yang melahap uang Negara
Negara/rakyat sampai milyaran rupiah bebas karena katanya ‘’tidak ada bukti’’?
Sebenarnya ada apa dengan dunia hukum
kita? Siapa pun orangnya sama di hadapan hukum,Itu benar seratus persen. Namun
kenyataannya di negara kita ini berbeda. Tidak semua orang sama di depan
hukum.di Negara ini jika orang besar dituduh berbuat kesalahan apalagi yang
dituduh mempunyai kekuasaan meskipun jelas ada bukti bersalah,tak langsung
menerima hukuman. Proses pengadilannya bisa diulur-ulur atau
ditunda-tunda,bahkan bisa sampai ‘’hilang’’ di tengah jalan. Berbeda dengan
orang kecil yang dituduh berbuat kesalahan,’’cepat’’ dijatuhi hukuman,padahal
banyak kejadian,kemudian terbukti dia tidak bersalah. Tapi dia sempat menjalani
hukuman sampai bertahun-tahun. Tidak ada ganti rugi apapun dari pemerintah.
Jadi hukum yang bagaimana yang harus ditegakkan di Negara ini? Yang Sering kali
para pemimpin bangsa ini menyuarakannya di media-media. Apakah hanya hukum yang
berdasar pasal demi pasal? Atau hukum yang berkeadilan,berhati nurani,dan bukan
hukum yang buta?.
Kepastian
hukum di negeri demokrasi ini sangat mahal. Selain itu, proses penegakan hukum
pun acapkali melanggar hukum. Artinya, menghalalkan segala cara untuk
memenjarakan kebenaran dan ketidakadilan atas dalih keamanan dan kenyamanan
persekusi etnisitas kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Ironisnya,
oknum penegak hukum yang terhormat dari kaum intelektual pun cenderung dicap
setia dan sehati dalam upaya memarjinalisasi kepentingan atas hak kebebasan
berpikir dan berpendapat serta berekspresi secara publik terhadap perjuangan
membela kebenaran dan ketidakadilan.
Akibatnya,
hukum yang semestinya menjadi panglima untuk membangun kesadaran berpikir
kritis dalam paradigma baru berdemokrasi serta menjaga persatuan dan kesatuan
berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat semakin karut-marut dan bahkan
selalu menjadi sorotan publik internasional. Dalam konteks ini, hukum pun
menjelma menjadi dagelan pertunjukan budaya salah kaprah yang cacat moral serta
tidak bernalar dan berlogika.
Lepas dari
itu semua memang yang namanya gelar, kepandaian, pangkat, kekayaan, semua tak
bisa disandingkan dengan kebijaksanaan yang membuat keadilan. Semua itu hanya
sebagai keindahan dibelakang nama mereka. Berbicara mengenai hukum itu semua
menjadi hal yang percuma dan sia-sia karena sebenarnya bukan para ahli yang
patut disebut adil melainkan tindakan yang kita lakukan dan kita sadar bahwa
apa yang harus kita lakukan bukan hanya sebatas aturan yang dibuat.
No comments:
Post a Comment