Sunday, December 30, 2012

Esai:SUTARDJI VS OTAK PENIKMAT

Ini adalah sebuah esai yang pernah saya buat untuk memenuhi nilai sastra. Yah, memang ini lebih serius dibanding dengan tulisan saya sebelumnya. Silahkan menikmati.


Sutardji Calzoum Bachri
              Sutardji Calzoum Bachri. Mendengar nama  ini kita sedikit kesulitan untuk menghafal dan melafalkannya. Bila kita tak menillik lebih jauh siapakah ia, maka nama tersebut bukan menjadi beban di pikiran kita. Namun, nama tersebut menjadi sangat penting bila kita ingin mengenal sastra kontemporer. Bukan lagi sekedar namanya yang menjadi beban yang rumit bagi otak kita melainkan karya-karyanya itulah yang membuat namanya semakin gencar untuk dijadikan objek sastra yang memukau baik di masanya maupun di masa kini.
Sekarang kita tinggalkan permasalahan mengenai nama. Sutardji Calzoum Bachri kita panggil saja Sutardji, merupakan sastrawan angkatan ’66 yang gemar sekali dengan memainkan kata. Untuk membuat karyanya beliau memiliki ideologi atau istilahnya adalah kredo yang sangat kuat. Kalau ingin bebas ya Sutardji hal tersebut sangat cocok untuk para pengamat sastra yang ingin mendalami arti kebebasan yang sesungguhnya.
 Menulis puisi bagi Sutardji adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Dari pendapatnya ini kita bisa melihat bahwa Sutardji sudah ingin menyampaikan niatnya “Iki-loh karepku” dengan memutar-mutar kata sehingga untuk kalangan yang tak menyukai sastra akan menjadi jengkel dan mengatakan dalam hati “Apa sih maksudnya ?”. Tapi, kembali lagi pada kredo Sutardji yaitu bebas.
Sejarahnya, di masa angkatannya yaitu masa 60-an bersama dengan sastrawan se-angkatanya ingin membuka jalan bagi sastrawan-sastrawan yang dulunya terikat oleh aturan-aturan di zaman penjajahan. Sastrawan-sastrawan memiliki misi untuk meneggakkan keadian terhadap kesewenangan Soekarno—Presiden I Indonesia—melalui sastra. Dilihat dari isi puisi, tampaknya Sutardji mengambil sejarah yang pertama yaitu mematahkan aturan di zaman penjajahan yang biasanya terpaut dengan rima yang beraturan atau alur yang jelas. Di tahun 70-an karyanya semakin bertambah berani karena di tahun 70-an ini karya sastrawan-sastrawan berlatarbelakang semua persoalan kehidupan merupakan ide sastra. Nah, di masa inilah diri Sutardji yang sebenarnya. Kita simak kutipan puisi berikut:
SEPISAUPI
sepisaupi luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi

sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisauupa sepisaupoi
sepikul diri keranjang duri

sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisaunya ke dalam nyanyi
                                                          1973

Puisi yang bejudul Sepisaupi ini sesuai dengan kredo Sutardji. Amat jelas bahwa permainan kata “sepi” dengan “pisau” ini merupakan penyimpangan sintaksis. Dan di sini pula kita bisa melihat bahwa Sutardji sudah menggunakan licentia poetica. Licentia Poetica ini adalah hak untuk membuat karya tanpa terikat dengan aturan gramatikal bahasa Indonesia. Hak ini juga memperbolehkan para pembuat puisi untuk mengunakan kata kotor atau obscene. Hal ini terlihat dari karya Sutardji yang berjudul Gajah dan Semut.
GAJAH DAN SEMUT
tujuh gajah
cemas
meniti jembut
serambut

tujuh semut
turun gunung
terkekeh
kekeh

perjalanan
kalbu
                      1976-1979
Coba kita lihat kata “jembut” yang ada pada bait pertama baris ke-tiga puisi di atas. Jembut adalah kata yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti rambut di sekitar kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Kata tersebut juga merupakan umpatan dalam bahasa Jawa. Ini berarti Sutardji menggunakan lincentia poetica lagi. Dari kedua puisinya ini juga bisa kita lihat bahwa di awal kata pertama tidak menggunakan huruf besar. Perlakuan yang sama juga ada pada puisinya yang berjudul Walau. Ia berani-beraninya menulis kata “allah” dan “tuhan” dengan huruf kecil, ini berarti ia lagi-lagi melakukan penyimpangan.
Sutardji juga bisa dibilang pujangga berhati peri. Status ini terbukti jelas dalam puisinya yang berjudul Idul Fitri. Ia merangkai kata-kata yang ia sebut dengan bermain kata dengan memilih kata-kata yang sedikit sulit dicerna oleh pikiran telanjang, menggunankan istilah yang suci yang diambilnya dari Al-Qur’an sehingga puisi Idul Fitri ini menjadi salah satu puisi rohani Sutardji dengan estetika bahasa yang sangat tinggi. Dalam puisi ini Sutardji tampak merendahkan dirinya sebagai pemabuk yang berbicara melalui doa kepada Tuhan Sang Pencipta. Hawa rohani dalam puisi ini akan menggetarkan kepada setiap pembaca meski sulit, tetapi itu bukan menjadi alasan untuk tidak setuju bahwa puisinya ini benar-benar layaknya doa yang agung.
Sekali lagi menjadi misterius adalah keahlian dari Sutardji. Bagaimana tidak, semua karya-karya Sutardji bagaikan seorang ninja yang mengendap di sunyi malam. Ya, tidak tertebak tidak terpikir. Itulah Sutardji. Mulai dari tulisan hingga maknanya yang berati maksud hati Sutardji, merupakan fenomena alam di era global warming, absurd.
Bagi para awam atau pemula, membaca atau mendengar karya dari Sutardji bisa menjadi mimpi buruk, bukan karena isi atau ada gambar kuntilanak dalam karyanya tetapi bahasa dan kata yang digunakan Sutardji sangat abstrak (terkadang). Hal ini di dasari oleh kredo Sutardji. Kata adalah mantra. Namun apakah semua orang bisa memaknai mantra?
Dipahami dan memahami berkaitan langsung dengan diapresiasi dan mengapresiasi. Penulis dan pembaca juga memiliki hubungan yang erat. Hal ini merupakan tembok bagi Sutardji karena credo Sutardji yang sangat mengganjal di otak para penikmat karya Sutardji yang termakan njelimet-nya karya Sutardji.

No comments:

Post a Comment